Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sejak pagi, warga telah disibukkan dengan persiapan festival bulan, pun kuil yang ramai-ramai dikunjungi untuk memanjatkan syukur kepada dewa.
Ayodya meletakkan cangkir tehnya begitu seseorang datang menghampirinya.
"Apa kamu tidak merasa terlalu kasar, Ayodya? Kamu sama sekali tidak menyambutku sejak hari pertama kembalinya aku ke istana." Mirai tersenyum manis, masih persis seperti yang terakhir kali Ayodya ingat saat wanita licik itu nyaris membunuhnya di gudang belakang. "Berhubung pria bodoh itu sudah mati, artinya tidak ada lagi alasan untuk kita saling membenci, bukan?"
Ayodya memerintahkan Una untuk memberinya privasi berdua dengan Mirai. "Apa rencanamu sebenarnya?" tanya Ayodya tanpa basa-basi. "Apa kamu belum puas setelah semua kekejaman yang telah kamu perbuat?"
"Puas? Apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan merasa puas, Ayodya? Aku kehilangan segalanya, sementara kamu merebut posisiku sebagai ratu Aptanta."
"Kamu yang terlalu dibutakan oleh amarah dan cemburu. Jangan salahkan orang lain atas hasil dari keserakahanmu sendiri."
Mirai tertawa keras, terdengar mencemooh di telinga Ayodya. "Kamu terlalu sombong, Ayodya. Aku akan memastikan keruntuhanmu dan keluarga kecilmu. Bagaimanapun, darah lebih kental dari apa pun, kan? Aku tidak tahu apa yang telah kamu—ibunya selama dua puluh tahun lebih—tanamkan di otak Dante, tapi aku tidak menyangka kalau dia ternyata selemah itu."
"Apa maksud kamu?"
"Jangan bilang kamu tidak tahu perihal Dante yang menyerahkan dirinya sendiri untuk menggantikan Gaz sebagai inang bagi iblis?" Mirai memasang raut sok terkejut. "Apa aku baru saja membocorkan rahasia penting?"
Jantung Ayodya seperti berhenti untuk sejenak. "Apa?" ujarnya pelan, sarat akan ketidakpercayaan. "Jangan mengarang cerita!" Sayangnya, Ayodya mengenali sorot itu lebih dari siapa pun. Mirai tidak sedang berbohong.
"Silakan periksa sendiri jika kamu sedenial itu." Mirai mengangkat bahu, tanpa izin meraih cangkir bekas Ayodya untuk disesapnya. "Lebih baik kerahkan seluruh tenagamu untuk melindungi kepunyaanmu. Karena aku .. tidak akan mengalah untuk kedua kalinya."
*
"Yang Mulia!"
"Jangan mendadak bersikap seperti seorang ibu yang baik," balas Dante dingin, sama sekali tidak terlihat terusik dengan amarah di kedua bola mata Ayodya. "Hubungan kita tidak sedekat itu, kalau boleh mengingatkan." Ia masih sibuk merapikan pakaiannya di depan cermin, hanya melirik Ayodya lewat pantulan.
"Terserah Anda mau menganggap tindakan saya saat ini sebagai bentuk perhatian seorang ibu atau bukan. Tapi saya tidak akan tinggal diam di saat Anda jelas-jelas membahayakan seisi Aptanta!"
Dante mendengus, membalik tubuhnya agar dapat memandang Ayodya langsung. "Lalu Anda mau melakukan apa? Anda mau menyerahkan diri Anda sebagai inang iblis ini untuk menggantikan saya?"
"Jika memungkinkan, saya akan melakukannya." Jawaban itu berhasil membungkam Dante seribu bahasa. Saat Ayodya bergerak mendekatinya dengan tatapan tajam, Dante masih bergeming. "Kenapa Anda membuat keputusan sepihak seperti itu? Hidup Anda bukan milik Anda sendiri! Jika sampai terjadi sesuatu—"
"Jika ada sesuatu yang akan terjadi, itu adalah kemenanganku, Ibu Ratu." Dante memotong tegas. "Malam ini semuanya akan berakhir. Saya akan membiarkan Anda menyaksikan secara langsung kematian orang yang menorehkan luka bakar di lengan Anda sebagai hidangan penutup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle