xli. memories

25.6K 3.9K 176
                                    

Sewaktu aku terbangun, ruangan sudah dibayangi kegelapan total. Hanya ada cahaya rembulan yang menyelinap lewat jendela sebagai penerangan. Aku mengucek mata, memeriksa sekitar hanya untuk dibuat jantungan saat menemukan Dante di sisiku, terlihat tenang disertai napas teratur.

Aku menatapnya lama, refleks mengulurkan tangan untuk menyentuh keningnya. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil. Tak peduli logikaku yang terus mengataiku bodoh, di lubuk hatiku yang terdalam, aku tahu aku akan membuat keputusan serupa jika kembali ke momen itu.

I can't leave him alone. Not again.

Atau mungkin, aku yang terlalu takut tidak bisa kembali utuh jika kehilangan dirinya.

Aku menghela napas kecil sebelum beranjak dari kasur, melangkah hati-hati mendekati pintu setelah sebelumnya mengambil asal jubah yang tergantung rapi di dalam lemari.

"Yang Mulia." Seorang pengawal menyapaku begitu aku berjalan melewati lorong. "Biar saya menemani Anda."

"Tidak perlu. Aku hanya ingin mencari udara segar dan akan segera kembali." Aku langsung bergerak cepat agar tidak mendengar bantahan lebih jauh. Keluar dari penginapan, aku langsung disambut udara yang dingin bukan main. Kedua tanganku saling menggosok.

Mataku mengernyit begitu menemukan sosok lainnya di bukit yang tengah kutapaki.

"Ilse?"

Ilse yang tengah melamun dengan sorot memandang lurus ke depan langsung menoleh ke arahku, terlihat sama terkejutnya. "Yang Mulia."

Aku berhenti tepat di depannya. "Kamu sedang apa?"

"Saya tidak bisa tidur dan memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, Yang Mulia."

"Ah, begitu." Aku manggut-manggut. Lalu hening. Aku tidak tahu harus mengucapkan kalimat basa-basi macam apa lagi.

"Yang Mulia." Aku mengangkat wajah, menatapnya tepat di mata.

"Ya?"

"Maaf."

"Hm? Untuk?"

Ilse tersenyum sumir. "Karena hadir di tengah-tengah Anda dan Raja Dante."

Aku buru-buru mengalihkan mata, tertawa canggung. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku baik-baik saja dengan kondisi ini. Akan terdengar sangat munafik.

"Tapi," Aku mengernyit samar, "bagaimana bisa kamu berakhir menjadi selir Dante?"

Punggung Ilse menegak dan untuk sesaat, aku dapat melihat perubahan di sorot matanya. Namun sang Protagonis memiliki kontrol diri yang sangat baik. "Sewaktu Anda jatuh dalam kondisi vegetatif, para petinggi istana mendesak Raja Dante untuk segera mengangkat selir. Tujuannya sudah jelas. Jika terjadi sesuatu dengan Anda—"

"Ya, aku mengerti," potongku cepat. Aku mengatur napas yang mendadak memburu. "Sebelum aku jatuh tidak sadarkan diri, apa kita sempat bertemu? Entah mengapa, aku seperti melupakan suatu hal penting .. dan itu ada sangkut pautnya denganmu."

Ilse tersenyum manis. "Mana mungkin, Yang Mulia? Saya tidak memiliki akses memasuki kerajaan. Kalaupun saya menemui Anda, pasti pihak istana akan menyadarinya."

Interlude; The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang