Aku melihat pintu merah itu lagi. Kali ini aku membukanya, sekali lagi menoleh ke belakang. "Selamat tinggal, Yang Mulia."
*
Napasku terengah, beriringan dengan debar jantung yang menggedor gila. Aku melarikan pandang ke sekeliling. Aku menyingkap selimut yang membalut tubuh, berlari keluar ruangan yang kukenal sebagai kamarku, dibuat luar biasa linglung.
"Hei, kamu udah bangun?"
"Mama?!" Aku menerjang ke arah wanita berambut sebahu itu. "Aku kangen banget sama Mama. Mama baik-baik aja kan selama aku nggak ada?"
"Kamu ngomong apa, sih, Nou? Kok ngawur gitu? Abis jatuh, kamu nggak jadi gila, kan?" Mama mengurai pelukan kami, memberiku raut heran bercampur geli.
"Hah?"
"Tadi Mama pulang kantor dan nemuin kamu pingsan di depan kamar. Mama minta bantuan tetangga buat gendong kamu ke kasur. Kata dokter, kamu kecapekan dan kekurangan nutrisi, harus istirahat yang banyak."
Aku mengerjap tak mengerti, mencoba mengumpulkan kepingan yang berhamburan. "Semuanya .. baru terjadi hari ini?"
"Baru dua jam lalu, Nousha. Kamu kenapa, sih?" Mama masih menatapku penuh selidik.
Tubuhku oleng. "Nggak mungkin .."
"Nou?" Mama menatapku khawatir. "Mau ke rumah sakit?"
Aku tidak menghiraukan seruan Mama, langsung menghambur ke kamar untuk menyalakan laptop. Aku menggigit kuku sembari menunggu terbukanya dokumen naskahku, dibuat menahan napas begitu apa yang kucari muncul di depan mata. Jemariku bermain secepat kilat di atas touchpad, membaca ratusan paragraf itu dengan perasaan tak karuan.
Tidak ada yang berubah.
Air mataku berjatuhan, membasahi keyboard. Dengan tangan gemetar, aku meraih ponsel untuk menelepon Barga.
"Hal—"
"Gue mau revisi alur besar-besaran."
"Lo gila?" Terdengar hela napas tajam Barga. "Naskah lo udah diapprove sama Bos. Bisa-bisa gue yang kena masalah kalau lo seenaknya gini."
Isakanku semakin jelas. "Tolong, kasih gue kesempatan." Aku menyenderkan punggung pada dinding, jatuh luruh terduduk di atas ubin. "Bantu gue, Barga."
"Eh, kok malah nangis?! Oke, oke! Tapi jangan lama-lama, ya? Satu minggu bisa?"
Aku mengangguk sembari mengusap air mata dengan punggung tangan. "Lebih dari cukup. Makasih, Barga."
Di kesempatan keduaku, aku menuliskan garis takdir yang begitu indah, dimana semesta sepenuhnya memihakku dan Dante.
*
Dua bulan berlalu begitu saja. Tidak ada perubahan berarti. Sebanyak apa pun aku memohon pada Tuhan untuk dipertemukan untuk kali terakhir dengan orang itu, keajaiban tidak pernah terjadi.
Mungkin .. semuanya memang tidak pernah terjadi. Mungkin aku yang terlalu delusional. Mungkin semua itu hanya mimpi yang terasa terlalu nyata sehingga aku sulit meraba realita.
Mama menyeretku menemui psikiater, menganggap anaknya sudah betul-betul gila. Aku ingin mengatakan bahwa psikiater paling disegani di dunia pun tidak akan bisa menyembuhkanku. Aku tidak sakit, Ma. Aku hanya .. merasa kosong.
"Diminum atuh, jangan cuma diaduk-aduk." Barga menyeletuk, menyantap ramennya yang masih mengepulkan asap dengan lahap.
Aku menghela napas panjang, menyedot es teh di hadapanku dengan pikiran berkeliaran ke segala arah.
" .. setelah mendapat perawatan intensif selama dua bulan lebih akibat kecelakaan yang menimpanya, putra sulung Presiden Aliezer Tiar—Zenoric Chatura Tiar—memutuskan untuk kembali menginjakkan kaki di tanah air .."
Sembari mengunyah, Barga memfokuskan pandang pada televisi di ujung ruangan. "Lihat, Nou. Gue aja sebagai sesama cowok mengakui kalau Zenoric seganteng itu."
"Hm," sahutku tak tertarik. Mau setampan apa pun laki-laki di dunia ini, tetap Dante yang terbaik.
"Lo tahu Zenoric punya adik kembar? Namanya mirip-mirip. Siapa, ya?" Barga masih terus berceloteh. "Ah! Azeric Mahavira Tiar! Sama-sama ganteng, kayak bule."
"Hm."
"Ck! Lihat dulu itu!" Si Resek Barga mendorong pipiku hingga mau tak mau mataku terarah ke siaran berita yang tengah ditampilkan.
Jantungku melengos tajam begitu melihat foto yang ditampilkan di sana. Aku mengucek mata. Apa aku sedepresi itu hingga berhalusinasi begini? Namun sampai sepuluh detik berlalu, foto yang terpampang masih sama persis dengan sosok yang kukenal baik.
"Dante." Suaraku tercekat. Aku tidak mungkin salah! Aku segera berdiri, menimbulkan decit dari kursi yang tidak sengaja terdorong ke belakang.
"Apa .. ada aku versi lain di sana?"
Mendadak, kepingan-kepingan fragmen berbentuk memori itu berlarian pesat di kepalaku.
"Yakira Tazanna adalah kamu versi lain di dunia ini .."
Dante. Galadante Loka Agrapana.
".. Dunia paralel, kamu bilang. Akan lebih masuk akal kalau orang-orang di sini juga memiliki kehidupan lain di duniamu."
Itu semua bukan mimpi.
Aku tidak gila.
𝖙𝖍𝖊 𝖊𝖓𝖉.
A/N : :
Heyooo! Mau bilang makasih sebanyak-banyaknya buat seluruh pembaca Interlude. Jujur banget, dulu aku nulis cerita ini berdasarkan iseng karena lagi suka banget sama genre isekai. Posisinya waktu itu aku belum tau banyak tentang genre ini, jadi kalau masih ada kekurangan dalam plot atau apa pun itu, I beg your pardon hehe.
Sebenarnya udah ada tiga publisher yang menawarkan Interlude untuk terbit, tapi aku sendiri masih belum merasa pantas untuk itu. Mungkin di lain waktu.
Tulis kesan pesan kalian di sini, donggg! Issokay for spammin. Trims, peeps❤️
Anywaaaaay, mampir yuk ke cerita baruku! ON THE LAND OF SORROW. Jenderal Lucretius siap mengobrak-abrik hati kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle