Aku terbangun saat merasakan rengkuhan pada perutku. Aku sontak membuka mata, membalik tubuhku perlahan.
"Dante?" tanyaku setengah sadar.
Dante menenggelamkan wajahnya pada ceruk leherku. Ia melenguh. "Maaf membangunkanmu."
"Aku tidak melihatmu seharian ini."
"Tadi aku berbicara dengan Pendeta Hyggea di kuil," ujar Dante pelan. "Paman Tua tidak memiliki solusi berarti. Membuang-buang waktuku saja."
"Lalu? Apa rencanamu berikutnya?"
"Aku menemui Gaz tadi." Keheningan panjang sempat merambat sebelum ia kembali bersuara. "Dia bilang, ada momen-momen dimana iblis sepenuhnya memblokir akses di antara mereka, sehingga Gaz benar-benar kehilangan kesadaran dan tidak memiliki memori sedikit pun saat jiwa aslinya kembali."
"Jadi menurutmu, di saat-saat seperti itu, tubuh Gaz digunakan untuk bertemu dengan dalang sebenarnya?"
Dante mengangguk. "Ingat soal PM Yaddas yang menyelinap ke kuil setiap malamnya? Yang dia temui adalah iblis, bukan Gaz asli. Berhubung PM Yaddas sudah dilumpuhkan, berarti saat ini tidak ada lagi perantara di antara mereka. Mau tidak mau, wanita itu harus keluar dari persembunyiannya .. cepat atau lambat." Jemari Dante bergerak menelusuri pipiku. "Seharusnya aku tidak menyeretmu ke dalam bahaya."
Kelopak mataku yang terasa berat mengerjap beberapa kali. "Terlambat. Sekarang aku menempati posisi tepat di sisimu, Dante. Bahaya yang kamu hadapi juga menjadi ancaman bagiku, akan selalu begitu sampai salah satu dari kita mati."
Napasku tertahan saat Dante menarik punggungku mendekat, mengeratkan rengkuhannya. Wajahku dihadapkan langsung dengan dadanya yang kini dilapisi pakaian tidur berbahan sutra. Kali ini jemarinya hinggap di antara celah-celah kecil rambutku yang terurai bebas.
"Aku ingin tahu bagaimana kehidupanmu di sana."
"Di dunia asalku?"
"Ya."
Aku mengarahkan tanganku untuk menyentuh dada Dante, merasakan detak jantungnya yang bertempo cepat dan konstan. "Hidupku membosankan. Aku tidak memiliki banyak teman. Aku tidak pernah berkencan barang sekali pun. Aku berasal dari keluarga yang biasa saja. Aku hanya memiliki seorang ibu. Ayahku .. entah ke mana. Dia melarikan diri sebelum aku lahir."
"Kenapa tidak pernah berkencan?"
"Seriously? Dari semua hal menyedihkan yang aku katakan, kamu hanya fokus ke sana?" Aku memberengut sebal. "Ya, aku tidak berbohong!"
"Artinya aku yang pertama?"
"Ya, bahkan langsung menjadi suami. Bukankah luar biasa? Kamu harus merasa tersanjung, Yang Mulia."
Aku bisa mendengar kekehan samar dari Dante. "Apa .. ada aku versi lain di sana?"
"Hm? Kenapa bertanya begitu?"
"Yakira Tazanna adalah kamu versi lain di dunia ini. Dunia paralel, kamu bilang. Akan lebih masuk akal kalau orang-orang di sini juga memiliki kehidupan lain di duniamu."
Benar, sih. Tapi, kan, aku hanya mengarang perihal dunia paralel itu. Nyatanya, Aptanta hanyalah negara fiksi, berikut tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Aku bergeming untuk beberapa saat, membiarkan suara detak jantung kami bersahut-sahutan dalam hening.
Dante .. hidup. Ia nyata. Ia ada di hadapanku. Ia memiliki emosi dan akal.
"Dante .." panggilku dengan kondisi tenggorokan yang mendadak kering.
"Hm?"
"Kamu membuatku mempertanyakan akal sehatku sendiri." Aku menghirup aromanya dalam-dalam sebelum memberanikan diri menyejajarkan posisi wajah kami. Kini aku dapat melihat profilnya secara jelas dari jarak dekat. "Kamu membuatku takut untuk kembali. Bukankah konyol?" Aku tertawa kecil, betul-betul merasa bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle