xv. moment of truth

49.4K 7K 58
                                    

Aku betul-betul keteteran. Tak jarang aku menelantarkan tidur hanya untuk memeriksa tumpukan dokumen berisi segala persoalan dalam kota. Kantung mataku kian menghitam setiap harinya. Kondisi Ayah sudah membaik, tapi beliau masih membutuhkan banyak istirahat.

Sudah genap dua minggu aku tidak bertatap muka dengan Dante. Sesuai perkataannya, ia mengirimiku surat secara rutin setiap dua hari sekali. Isinya tidak jelas. Terkadang hanya berisi dua kata seperti 'apa kabar?' atau versi lebih panjang seperti 'bagaimana keadaan Tuan Wisesa?' Tapi di lain waktu, ia bisa bersikap begitu manis dengan mengingatkanku untuk tidak melupakan makan dan istirahat.

Aneh, ya, orang itu? Aku sebagai penciptanya saja tidak bisa mengerti jalan pikirannya.

"Nona! Perdana Menteri Yaddas datang berkunjung!"

Aku tersentak dari lamunan. "Apa?"

"Beliau sudah menunggu di ruang tamu, Nona."

Ah, sial. Kenapa harus di saat seperti ini, sih?! Aku berdiri dari kursi, merapikan rambut sebelum keluar dari ruang kerja Ayah.

"Selamat datang, Tuan," sapaku ramah dengan senyuman pada pria paruh baya di hadapanku saat ini.

"Nona Yakira, sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu." PM Yaddas balas tersenyum hingga kedua matanya menyipit.

"Silakan duduk." Aku mempersilakan beliau duduk di sofa beludru yang menurut Eria berharga sangat mahal. "Ada urusan apa Tuan jauh-jauh kemari?"

"Sepertinya rumor soal Tuan Wisesa yang jatuh sakit benar adanya, ya?"

Perkara sakitnya Ayah memang disembunyikan dari publik, tapi pasti ada saja desas-desus yang tersebar. "Hanya sakit ringan, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalau Tuan memiliki sesuatu untuk disampaikan kepada Ayah, saya bisa menjadi perantara," jawabku, masih berusaha mempertahankan senyum.

PM Yaddas mengangguk-angguk. "Bagus kalau begitu. Saya khawatir politik kerajaan akan kacau jika terjadi sesuatu pada pion pentingnya. Nona menggantikan posisi ayah Nona dengan sangat baik. Sangat disayangkan, Nona malah hanya akan menjadi bidak catur seseorang kelak."

"Maksud Tuan?"

"Nona adalah tunangan Pangeran Mahkota, artinya cepat atau lambat kalian akan menikah tepat sebelum Pangeran naik takhta. Nona akan menjadi ratu Aptanta, posisi yang diidamkan-idamkan semua gadis. Namun Nona bukan gadis bodoh. Posisi ratu tidak lain hanya akan menjadi batu loncatan bagi Pangeran. Setelah kalian menikah, lalu apa? Nona akan selamanya menjadi boneka panggung tanpa sedikit pun kendali."

Senyumku luntur begitu saja. "Boneka panggung? Tuan keterlaluan."

"Maaf kalau Nona tersinggung. Saya hanya sangat menyayangkan kepintaran Nona yang kelak akan terbuang sia-sia."

Aku memutar bola mata. "Itu akan menjadi urusan saya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Anda. Nah, sekarang, lebih baik kita membahas tujuan Tuan datang kemari. Tidak mungkin hanya untuk menceramahi saya, kan?"

PM Yaddas tersenyum culas, menatapku dengan sorot tidak terbaca. "Saya memang datang khusus untuk menemui Nona."

Mataku menyipit curiga. "Kalau Tuan bersikap aneh seperti ini, jangan salahkan saya jika menaruh curiga bahwa Anda sedang merencanakan sesuatu."

"Mana mungkin saya berani merencanakan sesuatu yang buruk bagi kerajaan Aptanta?" PM Yaddas berdiri. "Saya sadar diri, mereka bukan tandingan saya, Nona. Pangeran Mahkota Dante jelas tidak bisa diremehkan, bukan? Walaupun beliau terlihat ramah dan penuh kasih, saya tahu sosok macam apa yang bersembunyi di balik topeng itu."

Interlude; The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang