viii. a kiss

59.2K 7.6K 221
                                    

Memoriku sebagai Nousha Auristela dengan kenangan milik Yakira mulai tercampur aduk dan membuatku kelabakan sendiri. Semua kejadian yang pernah dialami Yakira sejak kecil terpatri lekat di benakku, terasa sangat nyata sampai-sampai membuatku takut. Pertanda apa ini? Apa jiwaku dan Yakira perlahan mulai bersatu?!

"Pergi, pergi, pergi!" Aku memukul-mukul dahiku sendiri, berharap rentetan kilas balik itu berhenti terputar. Kepalaku sangat sakit hingga mau meledak rasanya.

"Nona!" Hanum masuk ke kamarku dan langsung terlihat panik begitu melihat kondisiku saat ini. "Nona kenapa?!"

Aku meraih tangan Hanum, meremasnya kuat. "Sakit," rintihku.

"Saya akan memanggil tabib!" Hanum berlari keluar, tidak berapa lama kembali dengan raut khawatir. "Tabib yang biasa menangani Nona sedang berkunjung ke kota lain. Bagaimana ini? Apa saya perlu menghubungi Pangeran Mahkota?"

Memanggil Dante sepertinya tidak akan mengubah apa pun. "Jangan. Pangeran sedang ada rapat bersama petinggi istana."

Hanum menggigit bibir kuat, bergerak layaknya cacing kepanasan. "Apa kita kembali saja ke manor milik Tuan Wisesa?"

Aku meremas kepalaku sendiri saking tidak tahan dengan rasa sakitnya. "Perjalanan dari istana ke rumah itu jauh, Hanum. Yang ada saya sudah lebih dulu mati di jalan," kataku gregetan. Tuh, kan. Temperamenku semakin pendek, persis seperti Yakira.

"Maaf, Nona!"

Aku mendengus. "Sudahlah, pergi sana."

Hanum keluar dengan terbirit-birit, meninggalkanku sendiri. Aku memejamkan mata, mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa.

"Pangeran harus mencintaiku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Pangeran."

"Kenapa aku selalu sendirian?"

"Ibu .. aku rindu."

Air mataku mengalir begitu saja membasahi bantal. Sakit sekali rasanya. Apa ini yang dirasakan Yakira selama ini? Aku merasa jahat sekali. Dante benar, Yaki sangat kuat, tidak sepertiku. Yaki pantas mendapat akhir yang lebih baik, sekalipun tanpa Dante di sisinya.

Aku bersumpah akan mengubah takdir untuknya.

*

Seusai rapat, Dante langsung bergerak menuju ruang kerjanya untuk mengurus beberapa laporan dari para petinggi kota. Namun langkahnya terhenti saat menemukan seseorang di dekat pilar, bersembunyi dengan wajah panik.

"Itu siapa?"

Agas ikut menengok ke arah yang sama. "Bukankah itu pelayan pribadi yang dibawa Nona Yakira dari kediaman Tuan Wisesa?"

Dante berjalan menghampiri pelayan itu. Seolah baru tertangkap basah mencuri, Hanum langsung gelagapan dan memucat. "Ampun, Pangeran! S-saya tidak bermaksud mengintip. Saya hanya—"

"Tidak masalah," potong Dante cepat. "Ada urusan apa kamu kemari? Apa terjadi sesuatu dengan Yaki?" Tadinya Dante hanya asal menebak, tapi melihat raut Hanum yang langsung berubah, ia tahu kalau tebakannya tepat. "Apa apa dengannya?!" Punggung Dante menegak.

"Nona Yakira kesakitan sejak pagi. Tabib di Istana Soma sedang tidak ada. Saya takut Nona kenapa-napa." Hanum menangis terisak. "Semenjak terbentur, saya sadar Nona Yakira menjadi sedikit aneh. Nona menjadi lebih baik dan jarang marah-marah seperti dulu. Apa jangan-jangan itu pertanda kalau kondisi Nona semakin parah?"

Dante tidak membalas, langsung berlari ke lapangan pacu terdekat dan bersiul untuk memanggil Maro—kuda kesayangannya. Kuda pintar itu langsung menghampiri sang tuan, sigap ketika dinaiki.

Interlude; The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang