Sepenjuru Aptanta dibuat geger saat mendapat pengumuman tentang hukuman mati yang akan dijatuhkan pada Ratu Mirai. Pasalnya, yang akan menjadi algojo kali ini adalah Dante sendiri. Gerbang istana dibuka lebar, pun tribun yang kini telah disesaki oleh puluhan petinggi kerajaan dan anggota parlemen.
Dan di sinilah Gaz berada, tepat di depan sel yang menahan Ratu Mirai sejak beberapa hari lalu. Dante memberinya kesempatan untuk bertemu dengan sang ibu untuk kali terakhir.
"Ibu." Gaz sudah meneguhkan hatinya untuk tidak terlalu emosional, tapi getar dalam suaranya tidak bisa berbohong.
Mirai dengan kondisi berantakan dan salah satu kaki terborgol mengangkat wajah. Ia tidak terlihat terkesan saat mendapati kehadiran Gaz—putra yang telah ia telantarkan. "Untuk apa kamu ke sini? Mau menertawai saya?"
Rahang Gaz mengetat. "Aku hanya ingin melihat Ibu .. untuk terakhir kalinya."
"Kalau kamu ingin mendengar jawaban saya, maaf mengecewakan, Pangeran. Saya sama sekali tidak menyesal. Saya tidak menyesal menjadikanmu tumbal. Saya tidak menyesal menelantarkanmu di kuil. Saya tidak menyesal menjadikanmu alat untuk mencapai tujuan saya."
Dada Gaz terasa sesak. Ia marah. Sangat. Dirinya merasa konyol karena sempat berharap jika Mirai dilanda setidaknya sedikit saja penyesalan. Gaz ingin mendengar permintaan maaf tulus dari wanita yang melahirkannya itu, tapi semuanya hanya angan-angan belaka.
"Baiklah." Gaz menelan ludah yang mendadak terasa pahit. "Selamat tinggal, Ibu."
"Apa kamu ingat? Waktu itu umurmu baru delapan tahun saat seekor ular hampir membunuh saya." Kalimat Mirai itu berhasil menghentikan langkah Gaz. "Tapi kamu dengan bodohnya melindungi saya dan nyaris mati karena gigitan beracun ular itu."
Gaz menunduk, tertawa pahit. "Bagaimana bisa aku lupa? Bekas lukanya masih ada hingga sekarang."
"Itu merupakan kali pertama saya merasa takut." Gaz sama sekali tidak menoleh ke belakang. "Saya mendatangi satu per satu rumah penduduk dan memohon mereka untuk menyembuhkanmu. Saya terjaga semalaman untuk memastikan detak jantungmu masih ada."
Beberapa tetes cairan hangat dari mata Gaz luruh ke permukaan semen yang dingin. "Apa Ibu bahkan pernah memandangku sebagai putra Ibu?"
Keheningan panjang menyambut pertanyaan Gaz. Detik-detik itu terasa membunuh Gaz perlahan. "Pergilah. Jangan lagi membalik tubuhmu ke belakang." Hanya itu yang Mirai katakan.
Gaz berjalan gontai meninggalkan penjara bawah tanah hanya untuk mendapati dirinya berakhir di sebuah ruangan yang memuat koleksi lukisan Dante. Ia menyender pada dinding, luruh ke bawah. Ia harus membekap mulutnya sendiri agar isakannya tidak tertangkap siapa pun.
Namun sepertinya usaha Gaz sia-sia sebab nyatanya seseorang sudah lebih dulu berada di sana, bersembunyi di balik deretan patung sejak awal.
"Cupu .." Yaki bergerak mendekati Gaz, memberi sorot prihatin yang membuat Gaz semakin merasa menyedihkan. "It's okay. Semuanya akan baik-baik saja."
Gaz tahu tindakannya mungkin lancang, tapi ia tetap melakukannya—meletakkan kening di bahu Yaki yang kini berjongkok di hadapannya.
*
Ratusan pasang mata memilih untuk memejam begitu Dante mengayunkan lengannya tepat setelah suara terompet merobek udara, termasuk Ilse. Dante sama sekali tidak terlihat terusik dengan aksi brutalnya barusan, langsung bergerak turun dari podium.
"Mana Yaki?" tanya Dante pada Agas.
"Saya tidak melihat Ratu, Yang Mulia. Mungkin beliau sedang beristirahat di kamar. Bukankah Ratu sedang tidak enak badan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle