"Angkat wajahmu saat bicara dengan orang lain, Cupu," kataku gregetan.
Gaz melirikku takut-takut. "Maaf, Yang Mulia."
"Berhenti meminta maaf," dengusku sebal, menarik lengannya agar bergerak mendekat. Aku mengeluarkan sepotong saputangan dari saku, menggunakannya untuk membalut luka gores di telapak tangan Gaz. "Terlepas dari iblis yang mendiami tubuhmu, apa kamu memiliki ambisi untuk menjatuhkan Dante?" tanyaku terang-terangan.
"Tidak, Yang Mulia!" Gaz menjawab cepat, kali ini menatap mataku sungguh-sungguh.
"Sejak kapan kamu mengetahui kebenaran soal kamu yang merupakan anggota keluarga kerajaan sekaligus saudara kembar Dante?"
"Sejak saya kecil, Yang Mulia. Ibu saya selalu mengatakan hal yang sama berulang kali, kalau saya dan beliau dibuang dari istana secara tidak adil. Karena itu juga, Ibu memilih melakukan perjanjian dengan iblis, menjadikan saya sebagai bayaran untuk aksi balas dendamnya."
Jujur sekali. Sulit untuk tidak memercayai kedua bola mata polos itu. Kalau di dunia asli, mungkin fenomena seperti di ruang makan tadi lebih pantas disebut kesurupan .. atau kepribadian ganda jika melihatnya dari sudut psikolog.
"Apa tidak ada sedikit pun dendam? Bagaimanapun, di saat Dante bisa menikmati segala fasilitas mewah serta mendapat rasa hormat dari orang-orang, kamu malah menderita bersama seorang wanita psikopat .. dan dijadikan tumbal." Suaraku mengecil di akhir, takut malah menjadi pemicu munculnya iblis sialan itu.
Gaz tersenyum kecil yang membuatnya terlihat semakin tampan. Ya, darah Agrapana memang tidak pernah mengecewakan. "Raja tidak pernah menginginkan semua ini terjadi. Saya tahu hidupnya juga tidak mudah," katanya lugas.
Aku manggut-manggut, mendadak merasa terharu. "Jika Dante bersikukuh membunuhmu karena tidak ada cara lain, apa kamu rela?"
"Sejak awal, tubuh ini tidak pernah menjadi milik saya, Yang Mulia. Saya tidak bisa berbuat apa-apa jika iblis itu memberontak, lebih-lebih sampai menyakiti Raja. Maka dari itu, mungkin akan lebih baik jika saya mati."
Tapi itu terlalu tidak adil untuk Gaz. Hidupnya sudah cukup menderita selama ini. Aku sadar, keseluruhan alur cerita berubah karena kemunculan Gaz yang tidak kuprediksi sebelumnya. Karenanya, genre The Cruel Prince terombang-ambing dan menjadi tidak jelas.
"Aku tidak bisa menjanjikan apa pun, Cupu. Aku tidak cukup pintar dan berani untuk melakukan perubahan besar." Aku menyenderkan siku pada birai balkon, sedikit menggigil saat angin malam menerjang kulitku yang tidak dilapisi kain.
"Yang Mulia tidak perlu repot. Bisa menikmati makan malam di meja yang sama dengan Raja dan Anda sebelum saya mati sudah lebih dari cukup."
Kok aku jadi sebal, ya? Aku bersedekap, menatapnya jengah. "Apa kamu tidak memiliki ambisi sama sekali untuk hidup? Kenapa terdengar sangat pasrah?!"
"Memiliki ambisi tanpa harapan akan membuat saya semakin menyedihkan, Yang Mulia."
Walaupun terkadang egois, sisi cengengku yang penuh empati tetap meronta-ronta. Aku mengusap cepat sudut mataku yang berair. "Aku harap ini bukan sekedar pencitraanmu, Cupu."
Gaz memandangku geli. Untuk kali pertama, aku melihat ekspresi lain selain canggung dan takut. Ia terkekeh kecil. "Ini pertama kalinya ada orang yang menangis untuk saya, Yang Mulia. Terima kasih." Terdengar sangat tulus.
"Aku .. akan membantumu." Aku bahkan tidak bisa percaya akan ucapanku barusan. "Aku akan membantumu mendapat akhir yang bahagia, Cupu."
"Jangan, Yang Mulia." Gaz menggeleng. "Saya tidak mau membahayakan siapa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle