Sewaktu menempuh pendidikan di akademik khusus bangsawan, Dante merupakan kakak kelas Yaki. Walaupun belum berstatus sebagai tunangan, Yaki tetap memiliki keleluasaan di dekat Dante berkat status dan fakta bahwa mereka sudah saling mengenal sejak kecil.
Karena itu juga, sekalipun sikap Yaki sangat arogan dan kasar, tidak ada satu pun orang yang berani menyentuhnya. Kecuali hari itu.
Yaki dipermalukan di depan umum oleh seorang siswi yang pernah dirundungnya. Tubuh Yaki basah kuyup yang menyebabkan seragamnya menjadi sedikit transparan.
Dante tidak pernah sepeduli itu dengan sekitarnya. Ia juga jarang berinteraksi dengan Yaki di depan umum. Namun hari itu merupakan pengecualian. Ia datang sebagai penyelamat, membalut tubuh Yaki dengan selimut yang ia curi dari unit kesehatan dan merangkul gadis itu mendekat agar merasa hangat.
"Begini sikap kalian pada calon tunangan seorang pangeran?"
Semua yang menyaksikan kejadian itu dibuat gempar, termasuk jantung Yaki.
"Terima kasih," kata Yaki begitu keduanya melipir ke taman yang sepi.
"Tidak perlu. Kamu bukan orang asing." Dante mengusap-usap rambut Yaki yang basah dengan handuk. "Kenapa tadi diam saja? Yaki yang kukenal dapat membela dirinya dengan baik."
"Entahlah. Aku hanya terkejut, Pangeran." Yaki memerhatikan wajah mulus Dante yang diterpa sinar mentari sore, lantas tersenyum manis. "Apa kata-kata Pangeran tadi benar? Pangeran mau menerima pertunangan yang diusulkan Raja Ekata?"
"Tidak ada alasan baik untukku menolaknya. Kamu satu-satunya perempuan yang pantas bersanding denganku. Don't you agree?"
"Tapi," Yaki mengangkat tangannya untuk menghentikan aktivitas Dante, "apa Pangeran menyukaiku sama seperti aku menyukai Pangeran?"
Butuh waktu lama bagi Dante untuk memberi balasan. "Tentu saja aku menyukaimu, Yakira. Kita sudah mengenal sejak kecil. Kamu merupakan teman yang menyenangkan."
Senyum di wajah Yaki langsung luntur. Gadis remaja itu menunduk. "Bukan suka dalam artian seperti itu, Pangeran. Maksudku, perasaan suka layaknya seorang laki-laki pada perempuan."
"Apa .. harus?"
Yaki mengerjap beberapa kali, tertawa kecil melihat sorot bingung dalam kedua mata Dante. Ia menggeleng pelan. "Dengan Pangeran berada di sisiku saja sudah lebih dari cukup. Aku hanya memiliki Pangeran. Pangeran tahu itu, kan?"
Dante mengangguk, mengacak puncak rambut Yaki yang masih sedikit lembab. "Aku akan selalu berada di sini, Yaki."
*
Hal pertama yang kusadari begitu membuka mata ialah sentakan kuat pada dadaku, seolah baru saja ada listrik yang mengejutkan jantungku. Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, memaksa diriku bangkit dan mengamati sekitar.
"Dante .." Aku merangkak mendekati tubuh Dante yang terkapar tak jauh di dekatku. Kalau perkiraanku tidak salah, kami tengah berada di gerbang dimensi saat ini. Entah aku harus lega atau menyesal karena Dante menemukan pesan yang kutinggalkan di meja hari itu. "Dante!" seruku panik sembari mengguncang bahunya.
Aku mendekatkan telinga untuk mencari detak jantungnya, lalu dibuat lega bukan main saat menemukannya.
"Nou?" Ia membuka matanya perlahan.
"Ini aku." Aku meraih tangannya untuk kugenggam kuat. "Apa kamu baik-baik saja?"
Dante beranjak berdiri dari posisinya, turut membantuku yang masih sedikit lemas. "Aku tidak sedang bermimpi, kan?" Tangannya bersarang di pipiku, mengusapnya lembut. "Ini benar-benar kamu, kan? Nousha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle