Sebelum aku sempat menghantamkan tinju pada wajah rupawan Dante yang terlihat letih, orang itu sudah lebih dulu menangkap pergelangan tanganku, tanpa aba-aba menariknya hingga tubuhku herhuyung menubruk dada bidangnya.
Untuk sesaat, aku membiarkan Dante mendekapku erat layaknya tidak ada hari esok. Walaupun tidak bisa melihatnya, aku tahu Dante tengah menghirup rakus aroma rambutku saat ini.
"Kalau kamu berpikir dengan begini aku akan mengurungkan niat untuk mencakar wajah tampanmu, kamu salah besar," gumamku.
Aku dapat mendengar kekehan Dante sebelum ia mengurai pelukan kami. Saat matanya terpaku pada syal yang bertengger di leherku, Dante mengernyit.
"Cuacanya dingin," kataku sambil mengusap-usap kedua telapak tangan. Saat Dante berniat melepas kain tersebut, aku sontak mundur selangkah. Aku memang jarang memakai syal, apalagi di dalam istana yang hangat seperti ini. Namun saat Dante menahan lenganku dan dengan gerakan kilat meloloskan benda tipis itu, aku tidak bisa lagi berkutik.
"Apa yang terjadi?" geramnya dengan ujung jemari menyusuri lebam yang sudah diobati tabib. "Siapa yang berani—"
"Si Cupu kumat," sambarku cepat. Begitu melihat perubahan di sorot Dante, aku langsung menambahi, "aku sudah mengamankan dia di penjara, jadi jangan terlalu emosi."
"Bagaimana bisa aku tidak marah?"
Aku menahan dada Dante, mencegahnya meninggalkan ruangan. "Lebih baik kamu menceritakan secara detail aksi-melarikan-dirimu hari ini! Kalau kamu berbohong, artinya malam ini kamu akan tidur di luar."
"Nothing much." Dante memalingkan wajah dan dalam sekejap, aku tahu kalau ia berbohong. "Aku akan menemui Gaz di penjara."
"Dante, kamu bisa mengelabui satu dunia, tapi tidak denganku." Aku bersedekap, menatapnya penuh selidik. "Pasti kamu baru mendapat informasi penting, kan?"
Dante malah menjatuhkan diri di atas kasur. "Come closer," katanya sembari menarik ujung jariku. Aku mendengus, tapi tetap menuruti keinginannya. Dante memosisikan tubuhku tepat di sebelahnya, mengalungkan lengan kekarnya di bahu hingga lenganku. "Apa kamu marah?"
Aku mengangguk. "Kenapa kamu selalu menyembunyikan banyak hal dariku? Apa kamu sebegitu tidak percayanya denganku? Ya, aku tahu aku tidak sepintar Yaki. Aku juga tidak kompeten dan bijak. Tapi—"
"Berhenti berpikir serendah itu terhadap dirimu sendiri, Nousha." Tangan Dante hinggap di puncak kepalaku, mengusap-usapnya lembut. "Satu-satunya alasanku tidak mengikutsertakanmu ke kekacauan ini—"
"—karena kamu tidak mau membahayakanku? Begitu?" Mendapati Dante hanya diam, aku memutar bola mata. "Alasan klasik. Kamu pikir aku akan senang melihatmu menghilang tiba-tiba tanpa kabar seperti tadi pagi?!"
"Baiklah. Aku tahu aku salah."
"Tapi kamu akan tetap menyembunyikan banyak hal dariku, kan? Untuk apa meminta maaf kalau begitu?"
"Aku mendapat kabar baik, Nou," ujar Dante, masih setenang biasanya. "Kita bisa menyingkirkan iblis itu tanpa membahayakan siapa pun."
"Oh, ya?!" Kekesalanku langsung lenyap seketika. Aku menengadahkan wajah ke atas guna melihat wajahnya, hendak menelisik apakah dia sedang berbohong. "Bagaimana caranya?"
Dante menjatuhkan kecupan pada ujung hidungku. "Mari bicarakan itu nanti. Untuk sekarang, aku perlu mengisi ulang tenagaku, Nou."
Mataku menyipit curiga. "Kenapa terdengar ambigu?"
"Dan kenapa kamu selalu berpikiran kotor?" Lagi, Dante menyentil keningku pelan. "Aku akan tidur sebentar."
"Perlu kutemani?" tanyaku dengan nada sok menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle