Aku bersumpah akan memberi jotosan di wajah Dante begitu ia kembali.
"Yang Mulia—"
"Apa?" selakku galak. Suasana hatiku sangat buruk. Saat ini rasanya sedikit saja senggolan bisa membuatku melempar piring.
"Saya mendengar desas-desus bahwa Pangeran Gazka jatuh sakit," kata Hanum takut-takut.
Langkahku terhenti. Aku melirik Hanum sekilas. "Di mana dia sekarang?"
"Di kamarnya, Yang Mulia."
Akhirnya aku berbelok, berjalan menyusuri lorong panjang yang membawaku ke kamar si Cupu. Aku mengetuk daun pintu beberapa kali, tapi tidak ada balasan.
"Hei, aku akan langsung masuk kalau kamu tidak menjawab!" seruku. Aku menarik napas panjang, menyuruh Hanum menunggu di luar sementara aku melangkah ke dalam. Benar saja. Tubuh Gaz yang akhir-akhir ini semakin berisi tergeletak di atas kasur, berlapis selimut tebal. Ia terlihat menggigil dengan keringat dingin di kening dan leher. "Cupu!" kataku panik, beranjak mendekat. "Apa yang terjadi?"
Gaz tampak kesulitan bernapas. Matanya yang sayu tertumbuk padaku. "Yang Mulia," panggilnya dengan suara tercekat. "Pergi."
Aku mengarahkan punggung tanganku ke keningnya yang terasa membakar. "Aku akan memanggil tabib!"
Baru juga satu langkah, Gaz sudah mencekal pergelangan tanganku. "Jangan."
"Kamu bisa mati kalau dibiarkan, Cupu!" kataku sarat akan panik.
Gaz menggeleng lemah. "Pergi. Tolong menjauh dari saya."
"Kenapa kamu terus-terusan menyuruhku pergi?! Kamu betulan mau mati—GAZ!" Aku sontak menjerit begitu tubuh Gaz mengejang hebat. Cekalannya sontak terlepas. Kini kesepuluh jarinya mencengkeram selimut dengan kuat. "TOLONG! PANGGIL TABIB!"
Hanum dan beberapa pengawal menerobos masuk. Aku dapat mendengar pekikan tertahan Hanum sebelum gadis muda itu berlari keluar untuk mencari tabib. Aku mendekati Gaz sekalipun rasa takut mendominasi, mencoba menahan tubuhnya.
"Yang Mulia, sebaiknya Anda menjauh dari Pangeran. Kami takut—"
"Diam," potongku tajam. "Lebih baik kalian keluar dan menyeret tabib itu agar tiba lebih cepat!"
Mereka lantas bergegas keluar, menuruti perintahku, tidak menyisakan siapa-siapa lagi selain aku dan Gaz di ruangan ini.
Mendadak, Gaz berhenti bergerak. Matanya juga terpejam, membuatku sempat mengira ia mati. Aku mengguncang bahunya kencang. "Cupu! Gaz! Gazka Abednego!" panggilku.
Lalu semuanya terjadi begitu cepat sehingga otakku yang lemot ini butuh waktu lama untuk memproses segalanya. Kelopak mata Gaz terbuka, tapi tatapannya begitu berbeda dengan si Cupu yang kukenal. Ia membanting tubuhku hingga kini aku berada di bawahnya. Jari-jarinya bertengger di leherku, mencekiknya kuat.
"K-kamu s-siapa?!" kataku dengan suara tercekat. Aku benar-benar tidak bisa bernapas. Aku melakukan segala hal yang kubisa untuk lepas dari Gaz. Mulai dari mengerahkan kaki untuk menendang, hingga mengulurkan tangan untuk mencakar-cakar wajahnya. Namun semua usahaku terasa sia-sia, apalagi dengan sisa tenaga yang kupunya.
Saat aku mengira aku sudah akan menemui ajal, tubuh Gaz terlempar ke lantai. Aku mengambil kesempatan untuk menarik oksigen sebanyak mungkin, juga batuk-batuk dramatis setelahnya. Aku menoleh ke satu arah, menemukan kehadiran Nyx dengan beberapa pengawal di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle