Aura tidak wajar langsung menyergap tengkuk Dante begitu matanya bersinggungan dengan manik yang sama gelapnya dengan miliknya sendiri.
"Yang Mulia." Lelaki yang Dante taksir seumuran dengannya itu membungkuk hormat. "Suatu kehormatan bisa bertemu secara langsung dengan Anda." Gazka Abednego tersenyum simpul, terlihat kikuk.
"Kamu seorang kardinal?"
"Benar, Yang Mulia." Orang itu bahkan tidak berani menatap Dante tepat di mata.
"Nama keluargamu?"
"Tidak ada. Saya diasuh oleh kuil sejak masih kecil," balas Gaz dengan suara kecil, masih mempertahankan senyum canggung di wajahnya. "Pendeta Hyggea yang memberi saya nama ini."
Dante mengalihkan matanya pada bunga azalea yang bermekaran di taman kuil. "Ah, begitu. Apa kamu memiliki alasan bagus untuk menolak posisi sebagai pendeta utama, Gazka Abednego?"
"Saya bukan orang suci, Yang Mulia. Posisi itu tidak pantas untuk saya."
Sontak saja Dante tertawa. "Apa kamu senaif itu sehingga berpikir kalau ada manusia suci di dunia ini?" Ia menoleh, menemukan Gaz yang juga tengah menatapnya. "Candramawa. Apa kamu tahu arti dari kata itu?" Gaz menggeleng sebagai jawaban. "Perpaduan antara hitam dan putih. Gelap dan terang. Baik dan jahat. Suci dan hina. Bahkan dewa bisa berbuat kesalahan, apalagi kita sebagai manusia fana? Bukankah begitu, Gaz?"
Gaz mengulum bibirnya sendiri, lantas mengangguk pelan. "Kalau begitu, saya akan mengganti jawaban saya."
"Ya?"
"Saya menyukai kebebasan. Posisi itu hanya akan memberatkan saya."
"Aku menyukai kejujuranmu." Mata Dante melirik emblem emas yang tersemat di sisi kiri jubah Gaz. Lama-lama, lambang matahari membuatnya muak. Lalu sorotnya tertumbuk pada satu titik di dekat tulang selangka Gaz. Sebuah tanda lahir abstrak yang menyerupai bunga. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Lagipula, hidup itu milikmu sendiri."
"Terima kasih atas pengertian Anda, Yang Mulia."
*
"Apa?!" Kalau ini adegan komik, mungkin bola mataku sudah menggelinding keluar saking terkejutnya. Omong kosong macam apa yang baru saja Dante katakan?! Kepalaku langsung berdenyut, membuatku meringis pelan.
"Ada yang sakit? Mau kupanggil—"
Aku meletakkan telunjuk pada bibir Dante, menyuruhnya diam. "Ini bukan saat yang tepat untuk itu, Dante. Ada hal yang lebih penting!"
Dante meletakkan jemarinya di atas dahiku, memijatnya pelan. "Apa yang akan kamu lakukan?"
"Menyingkirkan pion-pion Mirai terlebih dahulu. Mulai dari PM Yaddas dan antek-anteknya." Dante menarik selimut hingga ke pangkal leherku. Ugh, manis sekali raja satu ini.
"Bagaimana caranya? Kamu tidak bisa menyingkirkan mereka tanpa alasan."
"Aku tidak bergadang bermalam-malam untuk hasil nihil, Nou. Aku menemukan bukti korupsi besar-besaran akan dana yang telah kusiapkan untuk pembangunan desa." Tangan Dante menggantikan milikku untuk memijat keningku. Begitu lembut dan hati-hati, seolah ia takut bisa menyakitiku sewaktu-waktu. "Sampai semuanya baik-baik saja, bagaimana kalau kamu meninggalkan Aptanta untuk sementara waktu?"
Sontak saja, keningku mengerut tak suka. "Ide konyol macam apa itu? Aku tidak akan ke mana-mana, Yang Mulia." Samar, aku dapat melihat sorot ragu di kedua mata Dante. Aku membawa punggung tangannya untuk kuletakkan pada pipiku. "Jika kamu terjun ke medan perang, aku akan ikut bersamamu, Galadante Loka Agrapana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle