"Apa?! Kamu serius?"
Hanum mengangguk dengan raut sarat akan kekhawatiran. "Bagaimana ini, Nona? Kita harus kembali ke kastil Tuan Wisesa secepatnya."
"Saya akan membicarakannya dulu dengan Pangeran. Kamu bisa mulai mengemas barang-barang yang perlu dibawa."
Hanum mengangguk mengerti, lantas berlalu dari hadapanku. Aku menggigit kuku gelisah. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Skenario dimana ayah Yakira diracuni tidak pernah kutulis sebelumnya.
Aku bergegas keluar, meminta seorang kusir untuk kembawaku ke istana utama.
"Di mana Pangeran?" tanyaku pada salah seorang pengawal.
"Pangeran Mahkota sedang berkunjung ke Jiwanta, Nona."
Aku menjambak rambut frustasi. "Apa Agas ada?" Satu-satunya orang yang Dante percayai adalah Agastya, jadi tidak ada alasan bagiku untuk meragukannya.
"Tuan Agas turut serta dalam perjalanan, Nona."
"Sial!"
Oke, terserah. Aku akan tetap pergi sekalipun tanpa izin Dante.
Dan dengan begitu, aku serta Hanum kembali melakukan perjalanan panjang menuju Cwalika. Aku sempat ketiduran sehingga sisi kepalaku membentur jendela beberapa kali.
Sekitar dua jam, kami tiba di manor Adipati Wisesa. Aku langsung menerobos masuk, mengabaikan sambutan para pekerja di sana.
"Mana Ayah?!"
"Tuan Wisesa masih belum sadarkan diri, Nona."
"Apa kata tabib?"
"Untungnya racun belum tersebar ke seluruh tubuh Tuan Wisesa, jadi seharusnya Tuan baik-baik saja."
Aku diantar masuk menuju kamar Ayah, nyaris dibuat menangis saat melihat pria yang biasanya selalu kokoh dan bugar kini tergeletak tak berdaya dengan wajah pucat.
"Ayah," kataku parau. Saat ini emosi yang dirasakan Yaki lebih mendominasi. Walaupun hubungan mereka kaku, Yaki tetap mencintai ayahnya dengan sepenuh hati. "Ceritakan kronologinya dengan runtut," kataku pada Eria—kepala pelayan di manor ini.
"Sore tadi, Tuan Wisesa menyantap minuman yang disediakan koki istana seperti hari-hari sebelumnya. Pencicip makanan sudah meminum teh dari teko yang sama dan tidak terjadi apa-apa, tapi tidak berapa lama setelah Tuan mengkonsumsinya, tubuh Tuan mengejang dan beliau jatuh pingsan."
Keningku mengerut. Ada yang janggal. "Di mana koki itu?"
"Saat ini berada di penjara bawah tanah, Nona. Pusat pengadilan kota belum mengetahui hal ini. Saya takut ada rumor aneh beredar yang dapat merugikan posisi Tuan."
"Kerja bagus. Sekarang saya akan menemui koki itu. Minta pengawal untuk membawanya ke hadapan saya."
"Baik, Nona." Sementara Eria melaksanakan perintahku, aku duduk di sisi kasur Ayah, menyentuh punggung tangannya hati-hati.
Perubahan macam apa ini? Kenapa situasi seolah semakin pelik?
Tak berapa lama, Eria muncul dan mengatakan kalau semuanya sudah siap. Aku menatap Ayah sekali lagi sebelum beranjak keluar, menemukan koki istana dalam posisi berlutut dan kedua tangan diikat ke belakang.
"Kamu yang menyiapkan hidangan untuk ayah saya, kan?"
"Betul, Nona." Koki itu bahkan tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatapku.
"Apa kamu yang memasukkan racun?" tembakku langsung, malas berbasa-basi. "Hukumanmu akan diringankan jika kamu jujur."
Koki itu menggeleng kuat, membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat hingga posisinya terlihat seperti tengah bersujud sekarang. "Bukan saya, Nona! Saya berani bersumpah! Tolong percaya dengan saya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle