Tepat subuh tadi, Raja Ekata dinyatakan meninggal dunia. Seluruh Aptanta berduka. Bendera kerajaan dipasang di setiap sudut kota. Proses kremasi dilaksanakan di istana secara tertutup, hanya mengundang keluarga besar serta kerabat dekat.
Aku menatap sendu pemandangan di depan sana, dimana Dante sebagai pangeran mahkota tengah melakukan penghormatan terakhir dengan dupa di tangan. Wajahnya datar, sama sekali tidak menunjukkan emosi berarti, tapi aku tahu betapa hancurnya hati Dante saat ini.
Sekitar satu jam kemudian, proses kremasi usai. Semua orang kembali ke tempatnya masing-masing, kecuali Dante. Hingga guci berisi abu Raja Ekata dibawa pergi, Dante masih bergeming dalam posisi berlutut menghadap lukisan yang memotret figur sang ayah.
Aku menghela napas berat, berjalan menghampiri Dante. Tanpa bersuara, aku ikut berlutut di sebelahnya, meraih dupa untuk diletakkan di depan lukisan raja. Setelahnya, aku mengatupkan kedua tangan dan memejamkan mata, merapal doa dalam hati agar sekiranya almarhum bisa pergi dengan tenang.
Dante masih menyorot lurus dengan pandangan kosongnya, bahkan sama sekali tidak menangis.
"Dante," panggilku dengan suara rendah. "Almarhum Raja Ekata tidak akan senang melihat kamu seperti ini."
Dante tersenyum kecil, malah semakin terlihat menyedihkan di mataku. "Seharusnya semua anak menangis saat ditinggal orangtuanya, kan?" Aku tidak membalas pertanyaan retoris itu. "Yang saat ini aku rasakan .. kosong. Aku tidak bisa mengenalinya. Sedih, kah? Atau malah puas karena momen yang selama ini kutunggu-tunggu benar-benar terjadi?"
Air mataku lolos begitu saja saat mendengar pernyataannya barusan. Aku bergerak mendekat, meninggikan tubuh agar dapat menariknya ke dalam pelukan dengan leluasa.
"Kalau tidak bisa menangis, aku yang akan menangis untukmu." Aku mengusap lembut belakang kepala Dante. "Tidak semua kesedihan harus diekspresikan dengan air mata, Dante."
Hanya butuh beberapa detik bagi Dante untuk meraung keras dalam pelukanku. Ia terisak, terdengar begitu pilu.
"Kenapa dia sangat jahat? Kenapa baru memberitahu kebenaran setelah aku menghabiskan puluhan tahun untuk membencinya? Kenapa .. aku tidak diberi kesempatan untuk menjadi putranya untuk sekali saja?"
Air mataku semakin deras, tapi aku harus menahan isakan sehingga tenggorokanku terasa dibakar. "Keluarkan semuanya, Dante. Aku di sini. Aku mendengarkan."
"Kenapa .. dia sangat tega?" katanya dengan suara lirih. "Setidaknya dia harus konsisten. Kenapa tidak bawa saja rahasia sialan itu sampai mati? Kenapa harus membuatku lagi-lagi dicekik rasa bersalah?"
Aku tidak merasa ada kata yang tepat untuk menghibur Dante. Jadilah aku hanya diam, membiarkan bahuku menjadi tempatnya meluapkan emosi.
*
Oke, sudah cukup mengkhawatiri orang lain. Sekarang aku harus memikirkan diriku sendiri. Dalam waktu dua hari, Dante akan benar-benar diangkat menjadi raja dan itu berarti ..
Aku memekik frustasi. Menikah?! Seorang Nousha Auristela yang telah menjomblo selama dua puluh tahun kini harus menikah dengan tokoh ciptaannya sendiri?! Yang benar saja!
Ya, Dante memang menawarkan opsi bercerai, tapi itu bahkan tidak menyurutkan kepanikan dalam diriku. Aku tidak mau menjadi ratu Aptanta, apalagi menjadi istri seorang Galadante Loka Agrapana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle