xii. tea banquet

52.9K 6.9K 86
                                    

Aku tidak tahu apa yang Dante katakan pada pihak pengadilan istana, tapi hukumanku mendadak dicabut.

Padahal aku baik-baik saja, hanya sedikit trauma. Kini aku malah merasa bosan. Lebih baik menjadi pelayan yang memiliki kegiatan dan dapat bebas bergerak ke mana saja daripada gabut seperti ini.

"Nona, Tuan Gardaze datang untuk menemui Anda."

"Iya?!" Aku melonjak kesenangan. Setidaknya aku memiliki teman bicara. Setelah merapikan rambut, aku langsung bergegas keluar kamar, menemukan Garda tengah duduk sembari menyesap teh di taman belakang. "Garda!"

Garda menoleh, membalas lambaianku dengan senyum manis. Aku menghampiri Garda, menjatuhkan pantat di seberangnya.

"Aku sudah dengar dari Pangeran soal kejadian tadi malam. Apa kamu baik-baik saja?"

"Bukan hal besar. Apa kamu sempat bertemu dengan Pangeran?"

Garda mengangguk. "Pangeran meminta bantuan para petinggi kota untuk meningkatkan keamanan di area perbatasan, takut jika ada hewan liar lainnya yang masuk ke pemukiman warga."

Aku manggut-manggut sembari membentuk O di mulut. "Kapan kamu akan kembali ke Labda?"

"Tidak dalam waktu dekat. Aku harus menghadiri upacara perekrutan anggota parlemen yang baru."

"Ah, aku baru ingat. Selamat, ya!" Garda memang diberkahi otak cemerlang. Ia akan menjadi anggota parlemen termuda dalam sejarah Aptanta. "Tadi malam, aku tidak melihat kehadiran PM Yaddas. Apa terjadi sesuatu?"

Yaddas Walaga adalah perdana menteri yang sudah menjabat sejak tujuh tahun lalu. Posisi PM di Aptanta jelas tidak setinggi raja, tapi tetap memegang kontrol penting bagi negara. PM bertugas mengatur jalannya parlemen dan memastikan setiap anggotanya melakukan kewajiban secara bertanggung jawab.

"Aku mendengar rumor bahwa hubungan PM Yaddas dan Raja Ekata memburuk. Tidak ada yang tahu pasti apa penyebabnya. Kemungkinan besar karena pembagian otoritas dan kekuasaan."

Hm? Seingatku, aku tidak pernah menulis alur seperti itu. Seperti yang kubilang sebelumnya, novel The Cruel Prince ini hanya berfokus pada percintaan Dante dan Ilse, bukan politik.

"Yaki, kamu belum memberi penjelasan tentang ucapanmu kemarin."

"Oh, maksud kamu soal Ilse?"

"Ya."

Aku meraih teko berisi teh, menuangnya ke cangkir di depanku. "Tidak ada yang harus kujelaskan, Garda. Kata-kataku mudah dimengerti, kan? Aku ingin menyatukan Pangeran dan Ilse Kamala."

"Tapi kenapa? Kamu sudah tidak mencintai Pangeran? Yaki yang kukenal bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk Pangeran Mahkota Dante."

"Hm. Kamu benar. Aku sudah tidak menyukainya," ujarku tegas tanpa ragu, sekalipun suara Yaki seolah menggedor-gedor protes saat ini di benakku. "Aku sudah pernah mengajukan pembatalan untuk pertunangan kami, tapi Pangeran menolak."

"Kamu mengajukan pembatalan?" Mata Garda melebar, menatapku tak percaya. "Kenapa Pangeran menolak? Bukankah selama ini cintamu bertepuk sebelah tangan?"

Aku menyesap teh dengan hati-hati karena masih panas. "Mungkin egonya tidak terima jika aku yang mencampakkan dia. Maka dari itu, aku harus membuat Pangeran jatuh cinta pada Ilse dan secara sukarela melepasku sebagai tunangannya."

"Jadi, semua rencana ini hanya untuk membuatmu lepas dari Pangeran?"

Aku mengangguk. "Kamu akan membantuku, kan? Apa kamu mau melihatku menderita seumur hidup terjebak dengan orang yang tidak kucintai?"

Interlude; The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang