"Why didn't you tell me?"
"What?"
Aku menarik napas panjang. "Soal ayah Garda."
"Oh."
"Oh?!" Dante menarik tanganku hingga aku terhuyung dan berakhir duduk di atas pangkuannya. "Dante!" desisku tajam, berniat berdiri, tapi ia malah melingkarkan tangannya pada pingganku erat. "Nanti ada yang lihat!"
"Tidak ada siapa-siapa di sini," jawab Dante ringan.
Aku mendengus. "Sekarang, katakan! Apa kesalahan ayah Garda sampai kamu juga menahannya?!"
"Sederhananya, dia termasuk salah satu komplotan PM Yaddas."
Keningku mengerut. "Kalau para petinggi itu kamu lengserkan secara bersamaan, kondisi pemerintahan pasti berantakan, Dante."
Dante menyenderkan keningnya pada lenganku. "Aku memiliki cukup banyak sekutu untuk menggantikan posisi para pengkhianat itu kapan pun, Nou."
"Bukankah rakyat akan memandang ini aneh? Aku takut mereka berpikir yang tidak-tidak dan malah berspelukasi buruk tentangmu. Reputasi kerajaan akan jelek."
Dante tertawa kecil, masih dengan kondisi mata memejam. Sepertinya ia kelelahan sekali. "Syukurnya, tidak begitu. Aku tidak repot-repot menyembunyikan fakta perihal kebusukan yang dilakukan PM Yaddas dan koloninya. Sejauh ini respons mereka positif, memandangku sebagai pemimpin tegas yang tidak pandang bulu."
"Kenapa nada suaramu begitu? Kamu terdengar .. tidak puas." Aku melarikan jari untuk memainkan surai indahnya. Hanya anggota keluarga kerajaan murni yang memiliki warna pirang platinum seperti milik Dante—khusus kaum laki-laki.
"Aku khawatir." Aku dapat menangkap keresahan dalam suara Dante. "Mulai dari permasalahan di kuil, para koruptor gila itu, dan Ratu Mirai."
"Omong-omong soal kuil .." Aku menggantung kalimatku di udara, memastikan tidak ada telinga jahil yang mencuri dengar, "apa yang akan kamu lakukan terhadap orang itu?"
"To be honest, I have no idea, Nou." Ini pertama kalinya aku mendengar keputusasaan dalam suara Dante. "Apa yang harus aku lakukan terhadapnya?"
Aku meletakkan kedua lenganku di atas bahunya, melingkar hingga ke belakang tengkuk. Dante menengadah, memberiku sorot intens. "Bagaimana perasaanmu saat melihatnya?"
"Aku .. tidak tahu."
"Saat ini, kita tidak tahu apa peran dia, Dante. Bukannya untuk mengalahkan musuh, kita harus menjaga mereka agar tetap dekat?"
Dante memberiku kecupan pada ujung hidung. "Aku akan mengundangnya untuk makan malam. Kamu akan menemaniku, kan?"
"Your wish is my command, Your Majesty."
Waktu berlalu dengan cepat dan seusai berendam di bak penuh busa selama satu jam, aku segera memilih gaun untuk kukenakan di acara makan malam yang diadakan khusus oleh Dante. Dibantu beberapa pelayan, rambutku disanggul dan dihiasi beberapa perhiasan cantik. Tepat pukul tujuh, aku sudah duduk manis di meja makan bersama Dante di sebelahku, dan jangan lupakan tamu penting kami malam ini.
Aku mengamati wajah itu lamat-lamat. Selain warna rambut yang berbeda, kardinal kuil itu memiliki fitur wajah yang begitu mirip dengan Dante. Sejak awal, Gaz memainkan sendok di tangannya dengan gugup, jelas sekali tipe seorang pemalu.
"Apa aku mengganggu waktu luangmu, Gazka?" Dante memotong santai daging di piringnya, kontras sekali dengan laki-laki yang duduk di seberang kami.
Gaz mengangkat wajah, menggeleng cepat. "Sama sekali tidak, Yang Mulia." Sorot polos, gerakan canggung, raut mudah dibaca. Aku menopang dagu, tidak bisa membayangkan Gazka Abednego—tokoh yang seharusnya mati dua puluh dua tahun lalu—menjelma sebagai antagonis. "Saya hanya .. tidak menyangka akan mendapat kehormatan untuk menyantap makan malam di meja yang sama dengan Anda .. serta Yang Mulia Ratu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Interlude; The Untold
Fantasy[TIDAK UNTUK DITERBITKAN] Semua yang ditulisnya nyata. Dan Nousha tertarik masuk ke dalam dunia hasil karangannya sendiri, menempati tubuh tokoh antagonis dengan akhir tragis. © porknoodle