Curhat

116 22 29
                                    

"Yaudah lu pulang sana"

"Jadi Lo nebeng gw pas butuh aja gitu?," Tanya Sean dengan horor.

"Lah, kan elo yang maksa mau nganter gw."

"Kalo Lo gamau anter jemput Diva lagi, udah biar gw aja," ucap Raka memancing perhatian Sean dan Diva.

Diva mengangguk setuju, "Bener tuh bener, hus pergi Lo sana."

Raka menjulurkan lidahnya sebelum akhirnya menjalankan motornya  meninggalkan sekolah.

Sean?, Jangan ditanya perasaannya kayak gimana.

Mau mundur, tapi dia gamau di cap kalah.

Perjuangin, udah mulai capek juga.

Yuk yang mau sama bang Sean deh, obral nih, main murah aja.

~~~~~

"Win, gw mau ngomong serius."

Windy menghentikan langkahnya, terdiam di koridor yang sepi, tangannya terlipat didepan dada, menunggu apa yang akan Ridwan ucapkan.

"Gw suka sama Lo"

Baru saja Windy hendak membuka mulutnya, Ridwan sudah menyela.

"Gw tau Lo enggak, gw tau perasaan Lo ga bisa dipaksa buat suka ke gua. Tapi bisa gak gw minta tolong buat kasih gw kesempatan, setidaknya lu buka hati lu sedikit aja buat gw. Gw udah ngejar Lo lama Win, gw juga capek gini terus, gw pengen nyerah. Tapi gw ga bisa. Andai gw bisa milih suka sama siapa, yang pasti gw gak akan milih Lo Win. Terutama kalo tau Lo gabisa bales perasaan itu," kata Ridwan panjang lebar, uneg-uneg hatinya yang terpendam sudah dia keluarkan.

Gondok rasanya bila terus ditahan.

Ridwan pergi begitu saja, melewati Windy menuju parkiran. Windy terpaku, sementara Ridwan bersusah payah untuk tidak menoleh.

Bolehkah bila sekali lagi dia mengeluh, dia capek.

Haruskah dia berkorban sesuatu yang bisa membuat Windy jatuh ke dalam dekapannya. Perlukah?.

Windy menautkan jari-jari tangannya, pikirannya memutar masa lalu, antara bagiamana kesalnya dia kepada Ridwan selama ini.

Sebegitu dalamkah rasa suka Ridwan kepadanya?, Rasa suka yang Windy anggap sepele.

Ridwan menghela nafas, ia rasa Windy masih berada disana. Tapi mau bagaimana lagi, Ridwan harus mulai benar-benar niat untuk menjauh. Mungkin move on tak semudah itu, coba aja dulu, selama kamu mau, dan selama waktu terus berjalan.

Pasti bisa.

Windy menoleh, rasanya dia ingin memanggil Ridwan untuk berhenti. Namun ketika badannya berbalik, Ridwan sudah tidak ada disana. Dia sudah pergi, meninggalkan Windy beserta rasa bersalahnya.

Tapi bukan ini yang Ridwan inginkan, dia tak mau Windy membuka hatinya hanya karena menghasiani dirinya. Ridwan ingin ketulusan, dimana memang Windy menyutujui apa yang Ridwan inginkan, dengan ikhlas, rela, berdasarkan kesadaran, bukan rasa bersalah.

Pegangan Windy pada ranselnya semakin erat, dengan berat, dia melangkah. Sendirian, di lorong yang sepi tanpa adanya suara dari kebisingan.

Ridwan, membelah jalanan dengan pikiran penuh beban. Sedang mencoba melepaskan, namun hati enggan. Cinta, cinta dan cinta. Membuat rasa serta luka, yang kadang, datang tanpa rencana, dan pergi secara tiba-tiba.

Begitulah, jika kamu mencintai dia secinta-cintanya. Maka bersiap untuk patah, sepatah-patahnya
-hamun2021.

TIDAK LAGI UPDATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang