08. Mentally Hurt

3.8K 187 13
                                    

"Ada kalanya hati merasakan sakit yang tidak main-main bukan karena perihal cinta tapi lebih kepada orang-orang di sekitar kita"
•••••

"Jadi kamu kenapa?" Lagi, Semesta mengulang pertanyaan yang sama. Cewek itu masih bungkam sejak menghabiskan makanannya sepuluh menit yang lalu.

Mereka kini berada di Ruang Teduh setelah perjuangan yang cukup panjang akhirnya Chelsea bisa keluar dari rumahnya berkat bantuan Semesta. Kalau masalah kabur-kaburan, jangan meragukan kemampuan Semesta yang mengagumkan. Dia memiliki seribu satu cara untuk membawa Chelsea menjauh dari rumah yang berubah jadi neraka dalam semalam.

Dan sekarang mengalirlah cerita dari mulut kecilnya, menjawab semua rasa penasaran yang meronta-ronta dalam diri Semesta yang seperti ingin mati saja karena terlalu lama menunggu cewek itu buka suara.

Memdekati pukul 11 malam, seperti biasa jam-jam rawan yang memicu orang tuanya bertengkar. Chelsea kembali terbangun mendengar pertengkaran yang sudah sangat memuakkan baginya.

Dia berjalan kearah kamar orang tuanya dan memasang indera pendengar dengan tajam.

"Penghianatan apapun bisa aja terjadi, tapi jangan lakukan itu pada anak kita. Kita yang udah mutusin buat bawa dia ke dunia ini." Silvia menarik napas menghilangkan sesak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jadi kita seharusnya bertanggung jawab memberinya bahagia. Bukan menancapkan paku di dadanya. Tapi.....tapi kenyataannya kamu gak pernah berubah. Aku gak tahan lagi, Mas."

Begitu suara parau sang Mama yang dapat di dengar Chelsea. Seperti ada belati yang menusuk tajam hatinya saat mendengar kembali isak tangis Mamanya malam ini.

"Aku udah nyerah, kita berhenti disini."

DEGGG

Jantung Chelsea berdegup kencang, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa Mamanya meminta pisah? Mendadak ia harus menjadi hakim penentu perpisahan dengan kalimat, "Gue harus ikut siapa?"

Silvia terisak kuat, Keadaan sekarang membuatnya harus menyerah karena penghianatan.

"Silvia, dengerin aku! Kita bisa bicarain ini baik-baik." Ucap Ferdy melemah.

"Kamu mau ini dibicarain baik-baik. SEKARANG? KENAPA BARU SEKARANG? MAS, KEMAREN-KEMAREN KAMU KEMANA AJA HAH?" Amarah Silvia meledak bersamaan air matanya yang berderai.

"Sssttt. Plis! Nanti Chelsea denger." Ferdy berusaha meredakan amarah istrinya sambil meletakkan jari telunjuk di bibir agar anaknya tidak mendengar pertengkaran mereka kembali.

"BIARIN, SEKALIAN AJA DIA DENGER. DIA UDAH TAU PAPANYA SEPERTI APA, UDAH TAU. BAHKAN DIA MALU PUNYA PAPA KELAKUANNYA KAYAK GINI." Silvia kembali berteriak sambil menunjuk-nunjuk dada Ferdy.

Sementara Chelsea merosot di balik pintu kamar orang tuanya. Mencengkram kuat-kuat ujung baju dan membekap mulut guna meredam suara tangisnya.

Ferdy masih bergeming melihat emosi Silvia yang sudah meledak-ledak seperti bom di Hiroshima dan Nagasaki.

"Aku nyesel nikah sama kamu." Lirih Silvia putus asa sambil memegangi dadanya yang berdenyut nyeri dan perih seperti di sayat-sayat. Sungguh perkataan yang sangat berbanding terbalik dengan kata hatinya. Dia sedikitpun tidak pernah menyesal melahirkan seorang Chelsea ke dunia ini.

Truth Or Dare [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang