"Ku kira, aku sudah cukup memiliki. Namun ternyata aku kembali kehilangan. Memang ada kalanya, semesta tidak mengizinkan kita bahagia."
•••••Setiap kali pulang sekolah, Semesta selalu mampir ke Rumah Sakit menemani Chelsea hingga sore hari. Seperti saat ini, kedua anak remaja itu masih saling pandang dalam keterdiaman. Menyelami manik mata masing-masing yang saling meneduhkan satu sama lain. Membiarkan momen seperti ini berlangsung cukup lama.
Mulut Semesta terbuka ingin mengatakan sesuatu namun kembali tertutup rapat. Dirinya terlihat gusar, dia harus mengatakan suatu hal pada Chelsea.
"Chelsea!" Serunya pelan pada perempuan yang masih duduk berhadapan dengannya di atas ranjang Rumah Sakit ini.
"Hmm?" Chelsea hanya membalas dengan deheman. Benaknya masih sibuk merekam raut wajah Semesta yang mempesona.
"Aku mau ngomong sesuatu. Tentang kejadian malam itu aku....."
"Sssttttt." Chelsea meletakkan jari telunjuknya di bibir tebal Semesta hingga membuat cowok itu bungkam tanpa menyelesaikan kalimatnya. "Kita lupain aja kejadian itu." Imbuh Chelsea masih tetap memandangi wajah Semesta.
Semesta semakin gusar, bukan hal seperti ini yang dia inginkan. Bukan Chelsea yang pasrah seperti ini yang dia harapkan. Dia bahkan berharap Chelsea berontak meneriakinya, mengamuk padanya seperti yang sudah-sudah asalkan Chelsea tahu kebenarannya bahwa dia tidak pernah berniat sengaja merusak dirinya.
Namun, Chelsea seakan memblokade semua kata-kata yang ingin dia lontarkan sebagai penjelasan dengan cara memotong kalimatnya terus-menerus setiap kali dia ingin membahas perihal itu.
"Maaf." Ujar Semesta akhirnya, kemudian menunduk membuat Chelsea tidak bisa leluasa lagi memandangi figur wajahnya.
Tangan mungil Chelsea tergerak mengangkat dagu Semesta agar kembali memandangnya. "Kamu udah berkali-kali minta maaf. Jahat banget kalo aku gak maafin kamu."
Semesta yang mendengar penuturan Chelsea seperti itu semakin membuat rasa bersalahnya memuncak. Matanya mulai berembun kemudian mendongak demi menghalau air mata agar tidak jatuh di hadapan Chelsea. Rasanya terlalu cengeng jika dia harus menangis sekarang. Bahkan Chelsea yang notabenenya paling tersakiti disini tidak sedikitpun memperlihatkan tanda-tanda ingin mengeluarkan air mata.
"Tapi kesalahan aku udah fatal banget." Sanggah Semesta. Alih-alih memarahinya Chelsea malah tersenyum lebar. Kemudian memajukan badannya semakin menghimpit pada Semesta. Secepat kilat dia mencium bibir Semesta dengan lembut membuat lelaki itu melototkan matanya tidak percaya.
Tautan itu hanya berdurasi beberapa detik ketika seseorang memasuki ruangan itu tanpa mengetuk pintu. Membuat Semesta langsung meloncat turun dari atas ranjang dan berdiri di dekat tiang infus. Sementara Chelsea membenarkan posisi duduknya dengan raut wajah yang sudah memerah menahan malu akibat keciduk.
Ferdy yang sempat melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Kemudian memberi kode pada Semesta untuk keluar karena ada hal yang ingin dia bicarakan dengan anaknya itu.
Semesta yang mengerti pun langsung membungkuk kemudian berucap, "Kalo gitu Semesta permisi dulu, Om." Setelah mendapat anggukan dari Ferdy, dia langsung beranjak keluar ruangan usai menoleh sebentar pada Chelsea dan di balas anggukan oleh gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Or Dare [✓]
Teen Fiction"Dari sekian banyak cara Tuhan menghukum Semesta, kenapa yang paling berat adalah kehilangan?" ⚠️ The story contains harsh words and violence !!! Description : Cerita ini berawal dari permainan Semesta bersama teman-temannya, permainan truth or dare...