29. Sama-Sama Terluka

5.9K 274 6
                                    

"Kita semua sama. Sama-sama pernah terluka. Ada yang sengaja memeluk lebih erat hanya untuk menusuk lebih dalam. Karena luka paling parah memang berasal dari orang yang paling dekat."
•••••

     Gerimis masih tak henti membasahi tanah pemakaman sore ini. Membuat tubuh cowok yang masih setia menunduk itu sedikit bergetar akibat menahan hawa dingin. Proses pemakaman bahkan sudah selesai sejak satu jam yang lalu, namun dia enggan beranjak. Matanya hampir kembali memburam saat menatap kelopak-kelopak bunga yang di dominasi warna merah dan putih tersusun abstrak di tanah yang menggunduk itu.

     Manusia mana yang tidak bersedih ketika seseorang yang masih menempati tahta tertinggi di hati pergi begitu saja untuk selama-lamanya? Meskipun semasa hidupnya, orang itu selalu memberikan kecewa. Bukan apa-apa, manusia memang ada saatnya harus kembali pada Tuhan, namun haruskah dengan cara seperti ini? Tanpa salam perpisahan yang layak. Ini terlalu tragis bagi Wildan yang hanya mendapat ungkapan maaf sekaligus perpisahan melalui chat yang di kirim gadis itu terakhir kali.

     Hatinya belum selesai patah ketika tahu gadis itu menjalin hubungan dengan sahabatnya, sekarang patahnya berkali-kali lipat saat di tinggal pergi untuk selamanya. Bahu itu mulai bergetar kemudian dia terisak, "Lo emang manusia paling jahat yang pernah gue temui, Ly. Lo manusia paling tega, pergi gitu aja tanpa ketemu gue dulu buat pamit. Gue benci sama lo."

     Baru saja dia mendongak untuk menatap ukiran nama yang membekas di batu nisan, matanya menangkap siluet seseorang di balik pohon besar yang berada sekitar lima meter di samping kirinya.

     "Bimaaa" Geramnya dalam hati.

     Tak lama kemudian orang tersebut melangkah meninggalkan pemakaman, Wildan segera mengejarnya.

     "Gimana? Udah puas? Atau lo nyesel liat dia udah di balik tanah?" Tanya Wildan ketika langkahnya sudah sejajar dengan langkah Bima. Tiba-tiba Bima berhenti dan Wildan ikut berhenti sambil menatap sinis. Wildan bisa melihat mata Bima yang memerah seperti habis menangis.

     "Apaan sih. Biasa aja." Sahutnya santai.

     "Bangsat. Lo gak sedih udah kehilangan dia dan bayi lo, hah?" Suara Wildan meninggi.

     "Buat apa? Dengan dia mati, gue gak usah repot-repot tanggung jawab kan? Sesimpel itu, ngapain gue sedih apalagi nyesel."

     Mendengar itu, Wildan mengepalkan tangan erat, giginya ikut bergemelatuk entah menahan dingin atau amarah yang tersulut. Wildan mulai menangkap sesuatu yang ganjal dari ucapan Bima.

     "Terus ngapain lo disini?"

     Bima mengusap wajahnya yang basah akibat di terpa gerimis sebelum menjawab, "Anggap aja penghormatan terakhir, gak salah kan gue disini."

     Setelah berucap seperti itu, Bima segera beranjak meninggalkan area pemakaman. Menerobos hujan yang mulai bertambah deras. Meninggalkan Wildan yang masih berdiri dengan tubuh masih bergetar serta penuh amarah. Wildan mendadak menyesal, harusnya dia tadi memberikan Bima pukulan beberapa kali untuk meluapkan amarahnya juga sikap kurang ajarnya si Bima sebelum membiarkan cowok brengsek itu pergi.

     Bohong! Semua ucapan yang di lontarkan Bima tadi adalah kebohongan belaka. Buktinya sekarang dia berusaha menyembunyikan tangis di balik air hujan yang menghujam wajahnya. Menyesalkah dia? Maka jawabannya adalah sangat. Memang benar kata orang-orang, kalau sudah tiada baru merasa kehilangan.

Truth Or Dare [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang