"Park Nana, wait!"
Mark berhasil mencegat tangan kanan gue. Mau nggak mau, gue harus ngeladenin dia yang sedari tadi bilang mau ngejelasin sesuatu.
"Please listen to me. I knew something and I swear you're not gonna believe it only by words, so lemme show you something."
Mark ngerogoh saku jeans hitamnya untuk ngambil ponsel, tapi batal setelah dengan kasar gue ngelepas tangan gue yang dipegangnya.
"Sekalipun lo nunjukkin bukti akan apapun itu, gue nggak akan percaya lagi sama lo, Mark. I lose faith on you since the day you trust other girl than me, who being your friend since High School."
Dada gue lagi-lagi sakit mengingat hari itu. Di mana gue mengetahui kalo Mark lebih memilih diam atas perasaan gue yang jelas-jelas sudah dia sadari.
"I'm sorry. I was confused, Na. I was blinded by the crush I had on Yeri," lirih Mark, lalu perlahan megang kedua bahu gue.
"Tapi sekarang gue sadar siapa yang dengan tulus selalu ada kapanpun gue butuh. Lo, Na."
Gue memilih untuk diem dengan pandangan ke jakun dia yang sedari tadi naik-turun, sesekali uratnya nonjol. Hingga tangan kanannya nangkup pipi gue dan membuat kita tatap-tatapan.
"Please, kasih aku satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku janji aku nggak akan ngecewain kamu dalam segi apapun lagi," pinta dia dengan tatapan penuh permohonan.
Gue tersenyum hambar. "Aku ngerti, tapi kamu tau 'kan kalo sebuah vas yang pecah nggak bakal bisa balik utuh? Begitu juga rasa kepercayaan gue ke lo."
Mark diem, tapi sorot matanya terus natap gue seperti tadi, membuat gue uru-buru nurunin tatapan karena nggak mau terkendali rasa iba.
Ternyata gue belum bisa move on dari Mark, tapi gue harus bisa menghargai perasaan gue sendiri. Terlebih lagi, ada kak Taeyong yang dengan terang-terangan sudah minta izin ke Ibu untuk ngelamar gue. I shouldn't being fooled by all this.
"Okay."
Mark narik kedua tangannya, kemudian menghela napas panjang dan natap gue penuh keseriusan. "Dengan terpaksa, gue harus ambil langkah dengan cara gue sendiri."
"W-What do you mean?" tanya gue sedikit takut, untuk pertama kalinya Mark ngomong sedingin ini.
Tapi dia nggak menjawab gue dan langsung pergi gitu aja. Bisa gue liat dia nelpon seseorang, sebelum menghilang di belokan ujung koridor.
Seketika, darah gue berdesir. Seolah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Greb
Dua tangan melingkar di pinggang gue dari arah belakang. Sempet panik sih, tapi begitu ngeliat tangan berurat itu, gue balik kalem.
Tapi lagi-lagi panik pas sadar kita lagi di tempat umum.
"Aduh! Sakit, sayang..." lirih kak Taeyong seraya ngelus-ngelus punggung tangannya bergantian setelah gue pukulin.
"Salah sendiri. Nanti kalo diliat mahasiswa lain, gimana?" tanya gue penuh penekanan, tapi dia mengangkat bahu acuh.
"Masa bodoh sama pendapat mahasiswa, yang penting para dosen sudah tau kalo kamu itu bersertifikat hak milik saya," ucap dia dengan senyum pede dan ngedipin sebelah mata.
Membuat gue menyeringai remeh. "Hak milik? Lamaran kakak aja belum aku terima."
"Itu berarti malam ini kamu harus siap-siap, karena saya akan bikin kamu terima lamaran saya dengan berbagai cara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lecture [✔️]
Fanfic🔞 Sebagai anak dari donatur terbesar universitas, tidak ada dosen yang berani memarahi Nana, kecuali Lee Taeyong- the killer docent. Nana pun berencana mengerjai dosen tersebut, ia berhasil melakukannya sekaligus berhasil mengantarkannya pada awal...