𝟎.𝟖

955 92 1
                                    

Setelah pengusiran itu, gue nggak ada pilihan selain buat pulang ke rumah dan berharap Ibu nggak nanya hal lebih. My feeling's mess enough today.

Rasanya tadi itu gue ngelakuin hal terbodoh. Apa itu? Gue berharap kalo pak Taeyong bakal bertindak sesuatu sebagai bentuk membela gue. But he didn't.

Tapi gue sadar apa yang terjadi sama gue hari ini adalah hasil dari kesalahan gue sendiri, yaitu terlalu tinggi berangan dan berharap sama manusia. Padahal di agama sudah dilarang untuk berharap sama manusia.

Tapi mau gimana? Gue sempet pikir kalo pak Taeyong itu berbeda karena kita udah satu bulan lebih tinggal bersama dan dia udah liat baik-buruknya gue. Apa salah kalo gue perlahan-lahan percaya dan berharap kalo dia bakal bantu gue di saat-saat susah? Kayak tadi contohnya.

Nevermind ... I deserve it.
And I swear that I'm not gonna do the same mistakes.

"Eh, Nana? Ayo, masuk." Gue ngangguk dan ngekori Ibu ke ruang tengah. Tempat keluarga besar kita sering bercengkrama, tapi terhenti sejak meninggalnya Ayah.

Ibu menaruh segelas teh di hadapanku. "Kamu ke sini sudah izin sama Taeyong?" Gue cuma bisa nunduk dan menggeleng. "Kenapa?" tanya Ibu lagi.

Gue diem, masih menatap kedua tangan gue yang jemarinya saling tertaut. Bingung bagaimana ngejelasin ke Ibu. Sampe gue ngehela napas dan beraniin diri untuk ngasih tau yang sebenarnya, karena bangkai pasti akan tercium suatu saat nanti.

"Pacar kak Taeyong ngusir aku," ujar gue singkat, padat, dan to the point. "Jadi aku gak lagi ngurus dia dan balik tinggal di sini."

Gue ngedongak dan menatap Ibu yang juga lagi natap gue. "Boleh, ya, Bu?" tanya gue dengan nada memelas dan penuh harap.

"Nggak bisa!"

Kak Joy dateng dari tangga yang terhubung ke lantai atas, tempat kamar gue dan kamar kak Joy berada.

"Please, ya. Lo tuh nggak tau diri banget sih. Setelah kejahatan lo ke Taeyong, lo malah balik ke sini dengan alasan pacar dia ngusir. Sadar dong hidup lo di sini tuh cuma beban!" seru dia dan gue cuma bisa nunduk diam.

"Atau jangan-jangan lo beban buat dia juga, makanya dia diem-diem nyuruh ceweknya buat acting ngusir lo? HAHA! Miris banget sih hidup lo!"

"Joy!" Kali ini, Ibu gue berseru kuat sampe gue diem-diem ketakutan. "Kamu itu kakaknya Nana, seharusnya kamu itu bantu dia bukan malah maki-maki kayak itu! Ibu aja nggak pernah maki Nana karena sebenarnya dia jauh lebih mandiri dari kamu!"

"Ya bagus dong," sahut kak Joy cepet, lalu natap gue dan tersenyum sinis. "Berarti dia nggak perlu tinggal lagi di rumah ini dan mulai belajar hidup mandiri."

Tatapan dan senyum yang kak Joy tunjukkan, serta ucapan dia barusan cukup ngejelasin gue kalo dia bermaksud menyuruh gue hidup sendiri di tempat lain, alias ngekos.

Mengingat betapa rendahnya gue di pandangan keluarga ini, membuat gue yakin kalo gue memang beban mereka doang.

"Nana pamit, Bu."

Maka, gue putuskan untuk memulai hidup yang baru tanpa kehadiran mereka lagi.

Ini akan menjadi scene tersulit di dalam cerita hidup gue. But I'm not gonna give up! Gue harus bisa nunjukkin ke mereka kalo gue mampu untuk berdiri sendiri, terutama ke kak Joy. Mungkin akan sulit di awal aja, karena selama tinggal bersama mereka, gue sudah terbiasa untuk ngelakuin segala hal sendirian.

Ah, kayaknya enggak. Semua mimpi buruk ini dimulai sejak kematian Ayah yang membawa banyak luka ke keluarga gue. I'm not blame my father for this ... I blame the scenario of destiny that God gave to us.

Lecture [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang