𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝐈𝐈 - 𝟎.𝟔

587 50 2
                                    

"Oh... Sayangku!"

Taeyong merentangkan kedua tangannya lebar-lebar seolah ingin memeluk kasur yang sudah menemani hidupnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Nana hanya bisa menahan gemasnya dengan senyuman geli. Ingin sekali menghabiskan waktu dengan sang suami, tetapi otaknya masih ingat penegasan Dokter Jung yang memintanya menjaga pola makan Taeyong, atau suaminya itu akan benar-benar terkena maag kronis.

Detik itu juga Nana bersumpah akan menjaga dan memperhatikan Taeyong sama besarnya dengan yang suaminya itu lakukan padanya. Berlandaskan sebagai seorang istri, balas budi, dan juga penyesalan ㅡkarena pada dasarnya Taeyong sakit begini karenanyaㅡ.

"Kak, mau makan malem apa?"

Mendengar kata asing itu, Taeyong berbalik badan dan mengerutkan alis tak suka. "Kenapa manggil kakak lagi? Panggil nama aja."

Nana menggeleng cepat. "Aku nggak mau. Kakak suami aku, kalo panggil nama, kesannya nggak sopan." Nana menggigit bibir dalamnya, lalu bergumam pelan, "Aku mau jadi istri yang baik buat kakak."

Taeyong tersenyum mendengar kalimat manis itu, namun Taeyong tahu, istrinya melakukan ini pasti karena merasa bersalah. "Kamu justru sudah terlalu baik untuk saya, Na."

Merasa percakapan ini akan cukup panjang dan bisa membuat suaminya telat makan. Nana bergegas menuju dapur dan mulai memasak. Sayur sop dengan potongan ayam dan lele goreng adalah menu yang terlintas di otaknya.

Sepasang tangan melingkar di pinggangnya dari belakang, diikuti dengan napas hangat yang terus mengendus ceruk leher kanan Nana. Tentu saja Taeyong pelakunya.

"Saya baru terpikirkan satu panggilan." Taeyong mendekatkan bibirnya ke telinga Nana lalu berbisik rendah, "Daddy."

Nana memejamkan matanya ketika peredaran darahnya berdesir kuat. Gejolak aneh perlahan menyeruak, tapi Nana segera menggeleng cepat untuk menyadarkan dirinya, lalu menjauhkan tubuh Taeyong.

Melihat istrinya kembali sibuk memasak tanpa merespon kalimatnya, Taeyong merasa sedih sekaligus khawatir. Bertanya-tanya apakah Nana benar-benar memaafkannya?

Dan sebenarnya, Taeyong sendiri tidak bermaksud mesum pada bisikannya tadi. Hanya sekedar hiburan karena Nana selalu heboh atas sikap mesumnya. Namun kali ini tidak ada respon sama sekali. Dia sangat membenci kemurungan yang melanda istrinya saat ini.

"Kalau begitu panggil aja Mas." Mendapat anggukan kecil tanpa tatapan dari Nana, membuat Taeyong mendengus samar. Dnegan gontai dia duduk di meja makan sembari memperhatikan istrinya.

Menyadari itu, Nana menolehkan kepalanya dan mengangkat kedua alis. "Kenapa duduk di situ? Istirahat aja di kamar, nanti aku bawain makanannya."

Taeyong menghela napas samar. Dengan gontai, pria itu melangkahkan kakinya kembali ke kamar bernuansa abu-abu, hitam, dan putih.

Taeyong merebahkan tubuhnya, lalu otaknya mulai mengeluarkan beragam tanggapan negatif tentang istrinya. Sampailah dia di level tertinggi dari kegiatan overthinking tersebut, yaitu Nana menceraikannya.

Taeyong menggeleng cepat, mengeluarkan pikiran buruk itu, kemudian memilih menenggelamkan diri pada pekerjaannya.

Tak lama, Nana membawakan makanan untuk Taeyong dan membantu sang suami untuk makan, persis seperti sumpahnya: ingin menjadi istri yang baik.

Mereka memanglah sedang berdekatan, namun hening di antara mereka menciptakan jarak yang amat jauh. Nana memilih diam karena tidak ingin mengganggu Taeyong, begitu juga sebaliknya.

Selesai memberi makan dan obat Taeyong, Nana pergi ke dapur dan makan sendiri di sana. Begitu jam menunjukkan pukul sepuluh malam, mereka tidur masih dengan suasana yang sama. Pikiran negatif Taeyong semakin membuncah.

Lecture [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang