𝟏.𝟎

1K 93 0
                                    

"Nih."

Gue refleks noleh ke sebungkus tisu yang tersodor di sisi kanan gue dan ngelirik siapa orang yang nyodorinnya, yang ternyata adalah Jaemin.

"Thanks."

Gue nerima tisu pemberian dia dan mulai ngebersihin wajah yang gue yakin lebih kusut dari pada suasana hati gue. Alay? Bodo amat! Orang gue lagi beneran pundung. (︶^︶)

"Sorry aku samperin, tapi kamu nangis hampir dua jam. Takutnya nanti kepala kamu pusing gegara kelamaan nangis."

WHAT?! Mendengar itu, gue refleks natap dia. "Seriusan selama itu?!" tanya gue, nggak percaya.

Jaemin ngangguk seraya duduk di ayunan kosong di sebelah gue. "Karena itu aku samperin."

Dia ngehela napas panjang. "Aku tau kita baru kenal, tapi kalo kamu mau cerita, aku siap dengerin. Jangan takut, aku orang baik-baik, kamu bisa tanya Bunda aku langsung kalo nggak percaya. Mau nomornya?"

Jaemin merogoh sakunya dan gue refleks nahan tangan dia. "Nggak perlu, muka kamu udah cukup ngeyakinin."

Dia terkekeh geli dan gue cuma bisa nyengir. Yaiyalah, gue sama Jaemin baru ketemu dua kali dan nggak ada hubungan apa-apa, masa dia udah mau ngasih nomor Bundanya aja.

Yah... Walaupun gue emang mau sih, toh, Jaemin cakep  ԅ(≖‿≖ԅ)

"Ekhem! Tangannya boleh lepas bentar? Aku pengen gerakin ayunan soalnya."

Gue mengerjap beberapa kali sampe Jaemin ngelirik ke arah tangan dia yang tadinya refleks gue pegang, buru-buru gue tarik lagi tangan gue.

Jaemin megang rantai yang ada di kedua sisi dia dan mulai ngegerakin ayunannya. "Kamu suka anak kecil, ya?" Gue tersenyum dan ngangguk.

"Rencananya mau punya anak berapa?"

SERIOUSLY?! Gue ngelirik dia dari sisi kiri gue yang tertutup rambut dan ngeliat Jaemin lagi natap gue dengan senyum jahil.

Gue pun ngehelas napas dan menggeleng. "Aku nggak mau punya anak."

Ayunan Jaemin seketika berhenti. Lalu dengan gerakan tergesa, dia berpindah dan berjongkok di hadapan gue. "Kenapa?!"

Gue menunduk dan memandangi jemari yang saling bertautan di atas paha gue. Ragu buat cerita, tapi gas aja lah.

"Aku takut kalo nantinya aku bikin mereka tertekan dan ngerasain apa yang aku rasain saat ini. Sendirian, mendam emosi, dan sebagainya. Aku nggak mau itu terjadi, jadi lebih baik aku nggak nikah dan nggak punya anak."

Hening beberapa saat, gue berpikir kalo Jaemin mungkin akan nganggap gue cewek aneh. Sampe tiba-tiba tautan tangan gue dibuka sama Jaemin dan dia genggam, lalu tersenyum teduh ke arah gue.

"Kamu punya hati yang baik, tapi lingkungan sekitar kamu menutupi cahaya kebaikan itu. Aku paham, tapi dengan berpikiran kayak itu bukan jalan keluarnya."

"Kamu sudah tau gimana kalo yang kamu rasain sekarang akan dirasain sama anak-anak kamu kelak, oleh karena itu, jadiin pelajaran."

Jaemin menghela napas. "Di internet, aku sering liat kasus bunuh diri oleh remaja dikarenakan depresi. Sedih banget. Para orang tua masih kurang memahami perasaan anak-anaknya dan menganggap mental illness pada remaja itu hal yang konyol. Mereka justru menyudutkan anaknya dengan bilang nggak bersyukur dan juga suka membandingkan kehidupan mereka terdahulu dengan sekarang."

Lecture [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang