𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 𝐈𝐈 - 𝟏.𝟐

636 44 3
                                    

Punten, ini rada nganu di akhir 🔞
jadi mending tahan dulu untuk buka notifnya, setelah buka puasa baru dibuka ya (人 •͈ᴗ•͈)

Tapi kalo masih ngotot, aku mah bisa apa selain memohon ampun pada Allah agar tidak ikut berdosa ಥ‿ಥ 💚
.
.
.


"Kayaknya kamu udah nggak waras."

Tentu saja penuturan itu berhasil membuat Taeyong terkejut terheran-heran. Kenapa sang istri berkata demikian? Apa hadiah ini tidak sebagus dengan apa yang matanya pandang?

Nana menatap suaminya dengan ekspresi serius. "Rumah sebagus ini pasti butuh uang yang banyak. Lebih bermanfaat kalo uangnya diberi sama yang membutuhkan. Toh, rumah lama kamu masih sangat layak untuk ditempati."

Taeyong terkekeh geli mengetahui faktor itulah yang membuat Nana menyebutnya tidak waras. Ia lantas membawa Nana masuk ke dalam rumah itu dan mendudukkannya di sofa. Dirinya terus tertawa pelan kala sang istri memandangi rumah tersebut penuh takjub dan bingung.

"Kalau kamu mau kasih aku hadiah, beliin aja cincin atau baju atau sekantong roti-rotian. Nggak perlu sampai beli rumah kayak ini." Nana merasa bersalah jika sang suami senekat ini hanya untuk menghiburnya.

Taeyong menggaruk dahinya, ia turut bingung melihat reaksi Nana. "Kayaknya kita terlalu lama menetap di rumah sederhana itu sampai bikin kamu lupa kalau suami kamu ini CEO dari Lee Company."

Di saat itu juga Nana teringat bahwa suaminya itu bukan sembarang orang. Dalam hati Nana bersumpah serapah, bisa-bisanya mengingat Taeyong hanya sebagai seorang dosen di Universitas-nya dulu.

"Seperti yang kita bicarakan tempo hari, saat ini kita berada di lembaran baru. Memang rumah kita dulu punya begitu banyak kenangan, tapi disitu juga kita mengalami musibah terburuk. Mungkin kita nggak berjodoh sama rumahnya, jadi aku serahin aja ke Jeno. Kasihan juga kalau anak itu ngekos terus."

Taeyong berjalan menuju lemari TV, mengambil sebuah berkas sebelum kembali duduk di sebelah Nana. "Dan kayaknya kamu lupa dengan seserahanku satu ini."

Mata Nana membulat mendapati tulisan sertifikat rumah terpampang jelas di lembar terdepan berkas tersebut. "T-Tapi bukannya berkas ini hilang di hari wisuda aku?"

"Yang waktu itu cuma fotocopy-an, sengaja, sudah dapet firasat buruk," cibir Taeyong lalu mendengus kecil. Dirinya ingat betul anak-anak dari wali yang hadir mengubah kertas-kertas pada berkas itu menjadi pesawat terbang, kapal-kapalan, dan juga kipas. "Dan mulai hari itu juga rumah ini dibangun. Niatnya mau pindah tepat saat janin kamu dua bulan, tapi nggak kesampaian..."

Taeyong menundukkan kepala dan menghela napas frustasi. "Seandainya aku bawa kamu ke rumah ini lebih awal, pastiㅡ"

"Shhh..." Nana cepat-cepat menyela Taeyong dengan cara memeluknya. "Lembaran baru, inget. Nggak boleh bahas yang sudah lalu."

Taeyong tersenyum tipis di dalam ceruk leher Nana, kepalanya mengangguk pelan sebelum mengangkat tubuh mungil itu ke atas pangkuannya dan menghirup aroma manis dari tubuh istrinya. Sudah begitu lama ia tidak merasakannya.

"Mhhh... jangan duluhh," lenguh Nana merasakan Taeyong mulai menggodanya dengan kecupan dan gigitan kecil di lehernya. "Ini jam makan siang, kamu nggak laper apa?"

"Laper, karena itu mau makan kamu," bisik Taeyong serak.

Nana bergidik saat napas hangat Taeyong menyapu bagian kiri permukaan kulit lehernya. Apakah Taeyong sudah sebegitu bergairahnya? Padahal belum lima menit mereka diam pada posisi ini.

Lecture [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang