Senyum tipis dengan makna senang sekaligus prihatin mengembang di wajah Jeno. Perlahan, dia mendekati lelaki yang tengah berdiri di depan patung sang Tuhan.
Bahkan sesampainya Jeno di sebelahnya, lelaki itu tak kunjung membuka mata. Jeno terenyuh dengan besarnyacinta yang Taeyong sampai dia berkorban seperti ini.
"Kak Nana sudah mau makan, Bang," ucap Jeno pelan, tapi lelaki itu masih tidak membuka matanya.
"Bukan roti. Dia bener-bener makan yang berkarbohidrat," tambah Jeno.
Perlahan, kedua kelopak mata itu akhirnya terbuka. Kepalanya menoleh ke arah Jeno berada. Sorot matanya bergetar. "Kamu nggak bohong, 'kan?"
Suara berat Taeyong membuat Jeno semakin prihatin dengan kondisi lelaki itu. Diam-diam dia meringis membayangkan sakit yang Taeyong pendam.
Jeno merogoh ponselnya, menelpon seseorang. Begitu tersambung, Jeno memberikannya pada Taeyong.
Taeyong kebingungan, dahinya mengernyit bingung lantaran bukan ini jawaban yang dia mau. Jeno mengangguk paham, seolah mengisyaratkan agar sepupunya itu mendekatkan ponsel ke telinganya. Ia sudah meminta orang yang tersambung di panggilan itu untuk menjelaskan.
"H-Halo?"
"Bang Taeyong? Syukurlah, kak Nana sudah mau makan tanpa paksaan. Dia sendiri yang tiba-tiba nanya ada lauk apa. Kelaperan tuh pasti," kekeh Jisung yang membuat senyum merekah di wajah Taeyong.
"Kalau gitu, abang ke sana sekarang."
"Jangan. Kak Nana masih nggak mau ketemu sama siapa-siapa, terutama Bang Taeyong," ucap Jisung pelan.
Taeyong memejamkan matanya. Dia yakin Nana masih salah paham dengannya dan Jennie. Mau merencanakan pertemuan di luar rumah juga, sepertinya Nana tidak akan datang.
Apa yang harus Taeyong lakukan?
🌹🌹🌹
Dua piring nasi ludes begitu saja oleh Nana. Dia bak orang tidak makan seminggu, walau nyatanya dia memakan roti-rotian. Tapi karbohidrat pada nasi punya kepuasan tersendiri untuk menuntaskan rasa lapar.
Seperti orang Indonesia pada umumnya. Tidak akan kenyang kalau belum memakan nasi.
Setelah mencuci alat makan yang dia gunakan, Nana berjalan menuju kamar. Namun langkahnya terhenti di anak tangga ketiga. Dia bosan untuk berdiam diri, butuh hiburan. Segera Nana berbalik badan, menuju sofa di ruang utama.
Sempat Nana celingukan mencari Jisung dan Yoojung yang tak nampak kehadirannya. Mungkin tengah pergi ke pasar.
Nana menyalakan TV dan menekan nomor secara random. Sampai layar TV menampakkan si kotak kuning.
Dada Nana mendadak sakit. Ia mengingat Taeyong, sekaligus apa yang dia lihat di dalam mobil waktu itu. Di mana Jennie memeluk Taeyong. Sungguh, Nana sangat membenci lelaki itu, yang menurutnya penuh dengan janji manis belaka.
Namun jauh di lubuk hatinya, Nana juga merindukan Taeyong.
Nana menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Membiarkan air matanya meloloskan diri dengan isakan kecil, mengekspresikan kebingungannya untuk menyikapi masalahnya dengan Taeyong. Nana takut kejujuran Taeyong akan menyakitkan, tapi juga ingin mendengarkan yang sebenernya. Takut jika apa yang dia lihat belum tentu sesuai dengan kebenaran.
Dap.. Dap.. Dap..
"Kak Nana!"
Tubuh Nana mengerjit panik mendengar seruan Jisung. Rasanya dia ingin marah karena Jisung sudah merusak momen menyendirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lecture [✔️]
Fanfiction🔞 Sebagai anak dari donatur terbesar universitas, tidak ada dosen yang berani memarahi Nana, kecuali Lee Taeyong- the killer docent. Nana pun berencana mengerjai dosen tersebut, ia berhasil melakukannya sekaligus berhasil mengantarkannya pada awal...