69. Pulau Tanah Abu - Hari Ke-120 di Parasys (Bagian 2)

143 43 8
                                    

Di mata Rosie, jam itu memiliki desain yang sangat cantik. Permukaan peraknya mengilap. Ukiran geometris nan simetris memenuhi seluruh punggung jam. Alih-alih angka, dua belas berlian melekat di tepiannya. Jarum jamnya hanya terdiri dari penunjuk jam dan menit. Itu pun tak bisa digerakkan.

"Padahal aku sempat berharap jam ini bisa memberi petunjuk mengapa waktu di Parasys berjalan lebih cepat dibanding dunia nyata," keluh Benzua.

Willoms dan Hafeling sepakat menyimpan jam di saku Hafeling dan memutuskan akan mendiskusikan jam itu saat bertemu Gruvanu. Kemudian seluruh tim mendiskusikan langkah selanjutnya. Di tengah diskusi, Erloii dari Tim Felosia mengaku sempat melihat kantung air kiriman Karandium.

"Kami tak sempat menyentuhnya. Api unggun yang kami nyalakan atas permintaan Yolgia tiba-tiba membesar dan Yolgia langsung melompat memasukinya. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi, seluruh tim menyusulnya dan sampailah kami di sini."

"Ide nekat, kalau aku boleh bilang." Farakkia mendengkus kesal. "Api itu bisa saja membakar kita."

"Pikiranku saat itu kabur, tetapi aku bisa mengenali kalian sebagai kawan," jawab Yolgia. "Jadi api yang kukendalikan tidak akan membakar kalian."

"Pikiran kaburmu dan Karan disebabkan makhluk mirip kelinci berekor ular itu, bukan?" Dumoia ikut bersuara. "Perlukah kita mencari dan menangkap makhluk itu? Aku curiga makhluk itu menerima perintah langsung dari Atteuvis. Sejauh ini, dia hanya muncul di pulau tempat kedua Eistaat pengendali memperoleh kekuatan mereka. Skenario terburuknya, makhluk itu pulalah yang mengadu domba Karan dan Yolgia."

"Makhluk itu memang mencemaskan, tetapi kita sudah berada dalam dua kelompok besar: kelompok ini dan kelompok Brivelon-Canaih. Menurutku—"

"Karo belum ditemukan," sela Karandium. Para Eistaat saling lirik.

"Karan, rekanku tersayang, kau tahu kan berapa status Karonua sebelum penculikan kedua terjadi?" tanya Hafeling hati-hati. Karandium tetap keras kepala.

"Tetap saja kita perlu mencari makamnya meski ia sudah mati. Aku ingin memastikan dia mendapat tempat peristirahatan terakhir yang layak." Sang pengendali air gemetar. "Dia adalah rekanku yang paling kukhawatirkan sejak aku masuk ke sini. Atteuvis mengincar kami, begitu pikirku selalu. Mungkin kecemasan berlebih itulah yang membuatku rentan menjadi target si monster. Bukan berarti aku tak bersalah sama sekali."

"Persis sepertiku," sambung Yolgia muram. "Dibanding Juzeria dan Armarin, aku adalah Eistaat yang paling gelisah dan paling mencemaskan keadaan seluruh rekanku. Titik puncaknya saat pulau ini nyaris tenggelam. Aku yang tidak bisa berpikir jernih segera menuruti ancaman dari perkamen yang kami terima. Oh, semoga Yang Maha Kuasa mengampuniku dan semoga Armarin memaafkanku dari alam sana."

"Apa mereka sungguh tidak bisa hidup lagi?"

Semua kepala tertoleh kepada Reed. Pemuda itu melanjutkan, "Saya terpikirkan kata-kata Filchen Karandium dan Tentakel Empat. Parasys hanya program. Jadi saya sampai pada kesimpulan kematian Eistaat di sini tidak ada urusannya dengan dunia nyata."

"Reed, negara-negara jagaan para Eistaat yang diculik ikut lenyap," tukas Rosie. "Bagaimana kau bisa bilang apa yang terjadi di sini tak berhubungan dengan dunia nyata?"

"Negara-negara itu lenyap karena Eistaat-nya meninggalkan dunia nyata, bukan karena tewas di Parasys." Reed berkeras. "Mari kita analogikan Parasys sebagai RPG virtual super canggih yang tidak hanya memberi ilusi pada kelima indra, tetapi juga seluruh tubuh kita. Standarnya pada RPG, terdapat elemen berupa status atau nyawa, senjata, kekuatan spesial, karakter penunjuk jalan, serta berbagai macam tantangan. Kau menyadarinya, kan? Parasys memiliki semua elemen itu. Parasys adalah gim dan seperti gim mana pun, mati di sebuah gim bukan berarti mati di dunia nyata."

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang