44. Pulau Kerikil - Hari Ke-119 di Parasys (Bagian 2)

194 52 12
                                    

Rosie memekik tertahan. Ide akan hantu dan makhluk gaib lain membuatnya takut. Akan tetapi, ia tidak ingin membangunkan atau mencemaskan para Eistaat. Sementara itu, Reed menerjang maju ke arah cawan dan menendang salah satunya. Cawan tersebut melayang sesaat, menghantam tanah, dan mulai menumbuhkan akar dari tepinya.

"Oke. Aku sudah membuat kesalahan," gerutu Reed yang langsung disela Rosie.

"Tidak, Reed! Cawan-cawan lain juga menumbuhkan akar!" Rosie menunjuk delapan cawan lain yang juga menumbuhkan akar dari segala sisi. Langit dipenuhi suara gemeresik dan tanah mulai ditutupi bayang-bayang. Pepohonan gabus di sekitar mereka ikut bereaksi. Dahan-dahannya meninggi, memanjang, dan melengkung ke arah cawan. Rosie menggertakkan gigi. Ia langsung maju dan mendorong Reed menjauh dari cawan.

"Bangunkan Eistaat dan bawa mereka pergi dari sini," perintah Rosie. Dipandanginya gabus-gabus yang terus memanjang dan melengkung ke arahnya. "Aku yang bersalah di sini, oke? Jangan hukum yang lain."

Reed tak perlu disuruh dua kali. Ia segera menjauh dan melesat ke arah sofa. Selanjutnya, pandangan dan pendengaran Rosie dipenuhi gabus yang saling melilit dan bergemeresik mengancam. Cawan-cawan sudah tidak berbentuk cawan lagi, melainkan akar-akaran yang saling menjalin dengan pepohonan gabus lainnya. Mereka mengungkung Rosie seolah bermaksud memenjarakannya. Rosie sudah pasrah terkurung sendirian sampai Reed meluncur masuk dari celah antar sulur yang semakin lama semakin merapat.

"Para Eistaat sudah bangun dan menyelamatkan diri," lapor Reed. "Sekarang kita ...."

"Kita? Siapa yang menyuruhmu masuk?" sela Rosie frustrasi. "Sana keluar! Siapa yang akan menjaga para Eistaat?"

"Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian!" balas Reed. "Justru tadinya para Eistaat hendak tinggal dan membantumu keluar!"

"Kalau begitu kenapa kau tidak membantu dari luar?"

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu di dalam sini. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendiri. Aku sudah berjanji akan melindungimu, ingat?"

"Terima kasih, tetapi aku bukan putri payah yang harus diselamatkan pangeran berbaju zirah," balas Rosie setengah tersentuh-setengah tersinggung. "Aku sendiri berbaju zirah, kalau kau paham maksudku."

"Tidak ada yang bilang kau payah. Kau juga akan melakukan hal yang sama jika orang yang kau pedulikan berada dalam bahaya tanpa memedulikan jenis kelamin mereka, bukan?" kata Reed. Matanya tertuju pada sulur yang telah memerangkap mereka secara sempurna. Pemandangan berupa permukaan pulau berikut sofa tempat Eistaat tidur terhalang sepenuhnya. Gerakan sulur melambat. Tak ada lagi suara gabus yang saling bergesekan. "Pohonnya sudah berhenti saling menjalin."

"Syukurlah." Rosie menarik napas dalam-dalam. Ia mulai mengingat-ingat apa yang salah dan tersadar. Tentu saja. Semestinya aku tak perlu berpikir lagi, batin Rosie.

"Aku mengatakan hal yang jahat," aku Rosie. "Aku memang bukan orang baik—"

Pepohonan bergerak saling menjalin, menimbulkan suara gemeresik lagi.

"Kurasa masalahnya bukan kata-katamu tentang Fazze dan Destizel!" sambar Reed. "Melainkan tentang dirimu sendiri. Cawan-cawan tadi juga mulai bergerak setelah kau mengatai dirimu!"

"Tapi aku memang mengatakan hal yang jahat! Bagaimana aku bisa disebut orang baik setelah mengharapkan kematian orang lain?"

"Pasti ada yang salah dari ... uh oh."

Jalinan pohon gabus tidak hanya kembali bergerak. Mereka juga memperkecil kurungan seolah ingin menjepit kedua akla. Terdesak, Rosie dan Reed memandang berkeliling mencari jalan keluar. Keduanya mengambil posisi saling memunggungi agar bisa melihat kurungan dari semua sisi. Percuma. Dari sisi mana pun, keduanya tak menemukan celah.

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang