11. "Brivelon", Dolnare Selatan - Hari Ke-2 Insiden Area Putih (Bagian 3)

265 78 1
                                    

Setelah truk yang dikendarai kakaknya tak tampak lagi, Rosie meminta Welden Wylde mengendarai mobil menuju sebuah blok tak jauh dari sana. Pria berusia tiga puluhan itu mengangguk dan melajukan mobilnya. Rosie amat berterima kasih kepada Wylde. Pria itulah yang punya ide untuk menyesatkan K dengan berbelok-belok tak tentu arah.

Aksi tersebut Maisor Wylde lakukan setelah Rosie menyadari bahwa pengendara truk di belakang mereka adalah "si pelaku penganiayaan". Awalnya Wylde ragu karena khawatir akan memperlambat pertemuan Rosie dengan "seseorang yang berwenang untuk melindunginya". Namun, keraguan itu hilang setelah Rosie mengatakan orang itu telah menunggunya di kawasan ini bersama "satu tim operasi penuh".

Rosie tahu ia harus memohon ampun kepada Tuhan atas kebohongannya hari ini. Ia telah membuat Wylde percaya bahwa ia adalah korban aksi aniaya; bahwa K adalah seorang penganiaya; dan bahwa ia akan ditolong seorang paman dari Lachland yang cukup berpengaruh hingga bisa menggerakkan satu pasukan pengawal pribadi.

"Di sini saja, Maissor," ujar Rosie saat mereka tiba di depan sebuah kafe suram yang kelihatannya hampir bangkrut. Ia tahu menara jam hanya berjarak beberapa meter dari kafe tersebut. Kafe itulah yang ingin Rosie masuki dua setengah tahun lalu, saat ia kabur dari ibunya setelah mereka terlibat dalam pertengkaran besar. Dalam hati Rosie merasa miris. Mengapa kunjungannya ke Labdaff tak luput dari adegan melarikan diri?

"Keluargamu sudah tiba di sini?" tanya Wylde khawatir.

"Ya. Aku melihat pamanku duduk di sana." Rosie menunjuk asal saja pada seorang pria yang sedang menekuri bacaannya. "Terima kasih banyak atas bantuan Anda, Maissor. Semoga Tuhan memberkahi Anda pahala yang setimpal. Terimalah ini."

"Sudah kubilang aku tidak mau menerima imbalan apa pun." Wylde mendorong tangan Rosie yang menyodorkan sebatang emas seberat dua gram padanya. "Aku menolongmu karena dulu ibuku juga korban aksi aniaya. Aku tak mampu mengabaikan korbannya bahkan meski aku mau."

"Anda sungguh baik hati," ucap Rosie. Ia menarik tangannya lalu turun dari mobil. Sejenak Rosie bimbang, tetapi ia memutuskan mengalah pada nuraninya. "Omong-omong, orang yang mengejarku tadi adalah kakakku dan ia sama baiknya dengan Anda."

"Jadi?" tanya Wylde bingung.

"Jadi maaf dan sekali lagi, terima kasih banyak."

Rosie melemparkan emas ke kursi penumpang sebelum memelesat kabur untuk kali kedua. Terdengar panggilan Wylde dan bunyi klakson si sedan putih. Rosie mengabaikannya. Ia sudah masuk ke gang sempit di pinggir kafe dan tak lama tiba di pintu reyot menara jam. Setelah memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya, Rosie segera masuk dan menaiki tangga besi menara.

Sementara Rosie bergerak naik, segala macam pikiran dan perasaan berkecamuk dalam diri gadis itu. K dan Elmiro benar. Brivelon tak tampak seperti wilayah yang memiliki sistem pemerintahan dan peradilan. Sepanjang perjalanan, tak ada satu pun tanda-tanda yang menyatakan bahwa mereka ada di Brivelon. Kalau Rosie tak hafal jalan dan ketampakan alamnya, ia akan mengira tempat ini bisa jadi apa saja.

Kaki Rosie menginjak anak tangga terakhir. Biasanya semangat Rosie melambung begitu melihat pemandangan langit di jendela menara. Kali ini berbeda. Udara aneh yang Rosie hirup di bandara kembali menghinggapinya. Rosie segera meraih inhaler. Namun, di saat terakhir napasnya kembali normal. Sempat terpikir udara yang terasa mati ini ada bukan karena sebuah alasan ilmiah, melainkan oleh sesuatu yang sulit ditangkap nalar.

Rosie menyimpan inhalernya dan maju ke tengah menara. Ia akan menyebut nama Brivelon dan sang Eistaat kesayangan akan muncul di hadapan Rosie. Lalu mereka akan bertukar kabar dan Rosie akan mendapat penjelasan mengenai kejadian janggal yang terjadi di seluruh kota ....

Pasti begitu.

"Brivelon," panggil Rosie. "Aku di sini."

Yang biasa terjadi setelah Rosie memanggil Brivelon adalah bunyi dentang tangga yang menandakan bahwa sang Eistaat tengah menyusul ke puncak menara. Jika Brivelon tidak sedang berada di tanahnya, ia akan menyapa Rosie melalui telepati lalu menjelaskan mengapa tak bisa hadir. Yang terjadi sekarang bukan keduanya. Tak ada suara atau bunyi apa pun, baik di menara maupun di benak Rosie.

Keduanya sunyi.

"Brivelon?" panggil Rosie lagi. "Aku di sini. Ada yang ingin kutanyakan padamu. Segera."

Lama Rosie menunggu. Ia masih tak mendapat apa-apa kecuali kesunyian. Ketakutan melandanya. Udara aneh itu mencekiknya. Sesuatu yang mengerikan terlintas di pikiran Rosie ....

Brivelon lenyap.

"Brivelon." Suara Rosie bergetar. "Aku mohon jawablah. Di mana kau? Apa yang terjadi pada kota ini? Brivelon! Brivelon!"

Yang Rosie dengar hanya degup jantungnya sendiri. Tak ada suara Brivelon. Tak ada wajahnya yang kebapakan. Tak ada tanda-tanda kalau sang Eistaat eksis di dunia ini. Statusnya sama seperti negara jagaannya.

Nihil.

"Brivelon!" Rosie berteriak marah. "Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menghilang? Bukankah kau bilang kau selalu menyayangi wargamu? Kau bohong! Kau pembohong! Lihat apa yang kau lakukan pada orang-orang tak mampu itu! Kau membiarkan mereka mengemis! Kau membiarkan mereka ditindas! BRIVELON!"

Sekeras apa pun Rosie berteriak, hasilnya tetap sama. Brivelon tak akan hadir. Ia telah lenyap. Rosie menyadari ini saat ia memaki-maki sang Eistaat. Semakin keras ia mengatai Brivelon, semakin ia yakin Brivelon tak pantas mendapatkan makian itu. Brivelon tak akan tega menelantarkan warganya. Brivelon tak akan tega membiarkan tanahnya porak-poranda oleh ketiadaan hukum dan keadilan.

Brivelon sudah tak ada lagi, baik negara maupun Eistaat-nya.

Rosie merosot ke lantai dan menangis. Tidak mungkin. Negara yang ia cintai, Eistaat yang ia sayangi, mereka tidak ada lagi di dunia ini. Bagaimana bisa? Apa yang merenggut mereka? Apa yang sebenarnya terjadi?

Bunyi dentang tangga terdengar di antara isakan Rosie. Brivelon, pikirnya segera. Rosie langsung berlari menuju tepian tangga untuk menyambut sang Eistaat, tetapi ....

"Kau pikir apa yang baru saja kau lakukan?"

Rosie terdorong dari tepian tangga. K mencengkeram bahunya begitu kuat sampai ia terempas ke belakang.

"Millo, bersabarlah. Lihat, adikmu menangis."

Welden Wylde menyusul mereka. Rosie tak tahu dan tak mau tahu bagaimana ia dan kakaknya bisa bertemu. Yang ia tahu bukan Brivelon yang datang padanya.

"Apa yang terjadi? Siapa yang kau temui di sini?" K mengguncang bahu Rosie.

"Millo ...."

Rosie tak menjawab. Air matanya mengalir lagi. Percuma. Jika Rosie tak ingin menangis pun, Rosie tetap tak bisa menjawab pertanyaan K. Satu-satunya orang yang mengetahui keberadaan Eistaat Brivelon hanya dirinya. Ia tak bisa meminta bantuan siapa pun meskipun ia mau. Situasi sudah berubah gawat dan ia tidak mau memperburuk keadaan.

"Rosie, jawab aku."

"Biarkan dia tenang dulu." Maissor Wylde meraih bahu K. "Kelihatannya adikmu cukup terguncang."

Cengkeraman K mengendur. Rosie mengisak. K melepas bahu Rosie dan membiarkannya tersedu-sedan. Setelah beberapa saat, sang kakak bertanya lagi dengan nada yang lebih lembut, "Apa yang terjadi?"

Rosie masih tersedu.

"Kau benar-benar membuatku cemas. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan orang yang ingin kau temui?"

"Tidak ada," jawab Rosie. "Dia bahkan sudah tak ada lagi."

Tangisnya mengeras. Tak ada suara apa-apa di menara itu selain isakan Rosie. Dengan suara pelan, Maissor Wylde menyarankan agar mereka pergi dari tempat itu. K meraih tangan Rosie dan menggandeng turun adiknya yang hanya bisa mengikuti dengan pasrah.

*bersambung*

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang