27. "Canaih", Dolnare Selatan - Hari Ke-15 Insiden Area Putih (Bagian 2)

259 55 6
                                    

Tak pernah sekalipun Rosie berpikir mengunjungi rumah Lofelin bisa begitu menegangkan.

Bangunan bercat krem dan berlantai dua itu masih berkesan hangat dan sederhana. Namun, alih-alih kunjungan yang melibatkan banyak curhat dan camilan, Rosie yakin di dalam rumah sudah menunggu orang-orang bertampang serius seperti para agen yang menjemputnya di balai kota. K juga tidak membantu menenangkan Rosie. Tangannya yang berat di bahu Rosie malah membuat gadis itu merasa agak tertekan. Belum lagi sikap tubuh K yang seolah siaga menjaga sang adik dari cengkeraman binatang buas.

"Ayo masuk," kata Heii kaku setelah semua sudah turun dari mobil. Agak aneh mendengarnya berkata demikian. Meski secara teknis ia termasuk pemilik rumah, bukan ia yang menguasai keadaan. Lofelin tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum kecil pada Rosie sebelum menyusul kembarannya.

Mereka masuk. Hal yang pertama kali menarik perhatian Rosie adalah kehadiran Elmiro. Sang paman bangkit dan langsung memeluk kedua keponakannya.

"Tiba-tiba rekan kerjaku membatalkan rapatnya. Ternyata para Maze dan Mazo di sini berperan agar aku bisa menemui kalian," ucapnya sebelum ada yang bertanya. "Mazo Neveliz dan yang lain yang akan menjelaskan semuanya. Rosie?"

Tatapan Elmiro melembut saat memandang Rosie.

"Ya, Madoii?"

"Ada yang ingin bertemu denganmu. Ayo beri salam."

Elmiro mundur dan menunjuk ke arah tertentu dengan gestur penuh penghormatan. Rosie menoleh dan melihat figur yang sudah tak asing lagi. Figur yang ia temui selewat di kantor imigrasi Prisna dua setengah tahun lalu. Figur yang fotonya dikirim Difa beberapa hari lalu. Figur yang memberinya perasaan rumit antara cinta dan benci.

"Halo, Rosie," sapa Ulisia, suaranya sedikit bergetar. "Senang bertemu denganmu."

Perlahan Ulisia merentangkan tangan, siap menerima sebuah pelukan. Namun, Rosie tidak ingin memeluknya. Maju selangkah saja tidak. Layaknya bocah yang takut didekati orang asing, Rosie mundur dan menggenggam tangan K serta Elmiro.

"Um ...." Terdengar suara Kolonel Neveliz yang bergumam dan berdeham. "Mungkin sebaiknya kita mulai saja."

Situasi canggung itu dipecah oleh tuan rumah yang mempersilakan para tamu untuk duduk. Sekarang Rosie bisa melihat siapa saja yang hadir. Selain empat anggota Grup H/985 dan keluarganya, hadir pula Kanvoza Falviz dan orang tua si kembar: Kolonel Neveliz dan istrinya yang akrab dipanggil Madie Mihana. Janggal melihat mereka yang biasa ia temui di keseharian terseret dalam pertemuan ini. Kemudian ada Hertald dan lima agen lain. Dua di antara mereka beratribut bendera dan lambang negara Ulisia. Dada Rosie berdetak tak enak saat melihat keduanya.

"Permisi, Pranu dan Prani," sapa Rosie. "Boleh saya tahu nama Anda sekalian? Sepertinya Anda berdua tak asing lagi."

Kedua personel yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita itu tersenyum. Senyum mereka adalah senyum yang paling Rosie benci di dunia ini. Kemudian ia teringat orang tua mereka bekerja untuk Republik Ulisia—sang pria anggota Kesatuan Tentara Nasional, sedangkan sang wanita anggota Biro Intelijen.

"Aku Vaeglu Fazze, Prala. Dulu anakku, Gerriel, satu sekolah denganmu," ucap sang pria.

"Aku Vicella Orlim-Destizel, ibu Virio. Putraku bercerita ia sempat sekelas denganmu di program Lintas Sekolah Tingkat Distrik," sambung sang wanita.

Untuk pertama kalinya, Rosie ingin kabur dari rumah Lofelin. Kalau bukan karena Brivelon dan Canaih, masa bodoh dia dengan semua ini. Gerriel Fazze dan Virio Destizel adalah dua anak lelaki yang paling Rosie benci sejak ia masih tinggal di Ulisia.

Rosie berusaha keras agar kemarahan tak tampak di wajahnya. Untunglah Derezo Eyrez mulai bicara dan membuat perhatiannya teralih.

"Tanpa mengurangi rasa hormat pada semua yang hadir di sini ..." Tatapannya tertuju pada Ulisia. "Bolehkah saya tahu ... er ...."

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang