71. Dimensi Api - Hari Ke-120 di Parasys (Bagian 1)

154 39 5
                                    

Peringatan (18+) :

Sadisme dan gore

Suhu di sekitar Rosie meningkat drastis. Mulanya Rosie mengira lidah api dan kalor yang menerpa kulitnya hanya ada dalam kepalanya. Akan tetapi, seruan Reed dan teriakan para Eistaat yang mendadak terbangun menyatakan sebaliknya.

"Rosie!"

"Nak!"

"Rosie!"

Detik berikutnya, ekspresi dan teriakan mereka lenyap. Lidah api menjilat semakin tinggi hingga membentuk dinding yang menghalangi Rosie dengan seluruh timnya. Panas api semakin membakar. Bulir-bulir keringat mulai membanjiri tubuh Rosie. Rosie melihat ke sekeliling. Dinding api sudah mengurungnya secara sempurna. Langit Parasys yang tadinya menampilkan awan-awan merah muda kini gelap gulita. Tanpa awan, tanpa bintang, tanpa setitik pun cahaya.

Dalam satu kejapan mata, dinding itu runtuh. Kegelapan menyelimuti Rosie. Satu-satunya cahaya datang dari gaun putih sebetis berlengan pendek yang kini Rosie kenakan. Seragam akla-nya lenyap sudah, termasuk sarung tangan tanpa jari dan sepatu botnya. Ikatan rambut Rosie juga hilang. Rosie berdiri di tengah kegelapan, bertelanjang kaki, memakai gaun misterius dengan rambut berombak terurai di punggung.

"Halo?" sapa Rosie. Suaranya bergema di tengah kegelapan. "Tuja Foniks? Anda-kah itu?"

Sunyi. Rosie menelan ludah. Kejadian dengan Reed tadi pasti memicu kejadian ini. Tubuh Rosie gemetar. Detak jantungnya semakin cepat. Ia semestinya sadar konsekuensi perbuatannya akan diganjar secara instan di Parasys. Api yang sempat mengungkungnya, rekan seperjuangannya yang kini tak tampak, pakaiannya yang lenyap .... Rosie menggigil lagi. Terpikir olehnya situasi yang sedang ia hadapi tak ubahnya simulasi penghakiman di neraka.

Oh, Tuhan ... semarah itukah Engkau padaku? Mata Rosie mulai berkaca-kaca. Aku menyesal. Apakah penyesalanku belum cukup? Apakah aku masih harus menerima hukuman di dunia?

Terlintas di benak Rosie bahwa sejatinya dihukum di dunia lebih baik daripada dihukum di akhirat nanti. Rosie masih takut, hanya bedanya kini ia sedikit lebih siap. Sedikit. Suasana yang gelap tanpa suara masih membuatnya terancam.

Tap ... tap ... tap ... perlahan telinga Rosie menangkap bunyi langkah teredam. Suara itu datang dari sisi kirinya. Seleret sinar pias menerangi satu kompi kaki bersepatu kets. Jelas bukan Tuja Foniks ataupun pasukan naganya. Kaki itu mengingatkan Rosie pada kaki murid-murid sekolah menengah di Ulisia. Sepatu kets yang mereka pakai persis sepatu yang menjadi bagian dari seragam sekolah di negara tersebut.

"Siapa kalian?" tanya Rosie awas. "Apakah kalian nyata atau cuma bayanganku?"

"Tidak ada bedanya. Nyata atau bayangan, kau tetap harus menghadapi kami."

Suara yang menjawab pertanyaan Rosie kembali memacu jantung si gadis. Kali ini bukan karena takut. Rosie marah dan merasa terhina. Seperti diberi aba-aba, seleret sinar itu melebar bak cahaya lampu sorot, menerangi sosok-sosok pemilik kaki bersepatu kets.

Sosok-sosok yang Rosie benci.

Terdengar suitan dan berikutnya dinding api kembali terbentuk di sekitar Rosie. Bedanya, dinding ini tak mengungkung gadis itu. Lidah api hanya berkobar di belakang Rosie membentuk setengah lingkaran. Tak seperti sebelumnya, Rosie tak merasa takut dengan api baru ini. Ia sadar ia bisa mengendalikan api yang satu ini.

Api ini adalah wujud konkret dari dendam dan amarahnya.

Tenang, batin Rosie. Lidah api yang sempat membubung tinggi meredam dengan sendirinya. Perlu penguasaan diri penuh menghadapi Virio Destizel, Gerriel Fazze, dan Lefi Parma—pacar pertama Gerri yang juga ketua geng populer Sekolah Menengah Medpen. Lefi hadir bersama konco-konconya, kumpulan gadis bersolek mencolok dan berseragam melawan aturan. Mereka adalah alasan mengapa Rosie mendapat bekas luka di lutut dan siku, serta mengapa Rosie sempat absen selama dua minggu saat masih bersekolah di Medpen.

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang