3. Pulau PVC - Hari Ke-4 di Parasys (Bagian 1)

343 84 8
                                    

Brivelon panik bukan main. Tidak lama setelah ia menyuruh Canaih pulang, pusaran berwarna-warni muncul di langit di atas Gunung Plyern. Hanya dalam sekali lihat, ia langsung tahu pusaran partikel ini adalah kabar buruk. Detik berikutnya, Brivelon melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sejak lahir-ia berbalik dan lari tunggang-langgang.

Insting Brivelon mengatakan pusaran partikel ini adalah sumber masalah dari menghilangnya 27 Eistaat di dunia. Yang lebih membuatnya ngeri, ia menyadari pusaran partikel ini bukan sesuatu yang asing baginya. Partikel-partikel ini sudah menghuni negara jagaannya sejak entah kapan. Brivelon tak menyadarinya karena struktur dan sensasinya persis emosi dan pikiran warganya.

Sekarang, "emosi" dan "pikiran" ini berubah menjadi sesuatu yang mengancamnya.

"Agh!"

Pelarian Brivelon terhenti. Pusaran partikel tersebut membelah diri begitu banyak sampai seluruh langit Plyern tertutup rona pelanginya. Panik, Brivelon segera memeriksa keadaan semua manusia di Plyern dari dalam benaknya. Dari ekspresi dan rutinitas mereka yang tak terhenti, Brivelon menyimpulkan manusia tak bisa melihat pusaran partikel ini. Ia berharap partikel ini tak berdampak bagi warganya juga.

Aku harus segera mengontak Canaih dan Eistaat lainnya.

Namun, niat itu tak pernah terwujud. Dalam satu kedipan mata, pusaran itu memadat mendekati Brivelon dan berputar-putar mengelilinginya. Semakin lama semakin cepat putarannya, semakin memudar pula sensasi Gunung Plyern dari indra Brivelon. Aroma pinus, tebing-tebing terjal, deru angin kencang, bahkan pikiran dan perasaan warga Brivelon-semuanya lenyap dari sensor sang Eistaat. Selama beberapa detik hanya ada kegelapan dan kesunyian yang meliputi sampai Brivelon tiba di tempat yang penuh dengan kejanggalan.

Tempat yang jelas-jelas bukan dunia nyata.

Alih-alih dunia nyata, Brivelon serasa berada di alam mimpi. Pulau-pulau berbagai ukuran melayang di ketinggian berbeda-beda, dilatarbelakangi samudra nila dan langit lembayung yang bertemu di horizon. Bedanya, samudra dan langit di alam ini terletak dalam posisi terbalik. Samudra terhampar jauh di atas kepala Brivelon, mengirimkan suara debur ombak tanpa henti dan pemandangan berupa ikan-ikan kecil yang melompat turun sebelum kembali ke dalam air. Jauh di bawahnya, awan-awan serupa gula kapas berarak di langit yang membiaskan warna-warna bernuansa hangat. Tak setitik pun tetes samudra lolos mengenai pulau di bawahnya dan tak satu pun awan yang terdorong bergerak ke atas.

Kalau saja Brivelon tak menyadari potensi bahaya dimensi asing ini, ia pasti akan tetap berdiri terpesona menyaksikan pemandangan menakjubkan di sekitarnya. Brivelon mengepalkan tangan dan mengingatkan diri agar tetap waspada. Baru ia menyadari partikel warna-warni itu tak tampak lagi.

Mungkin karena ia sudah melakukan tugasnya dengan mencidukku kemari, pikir Brivelon.

Mata safirnya menyapu sekitar. Brivelon tengah berdiri di pulau yang wujud tanahnya tak lazim. Permukaan serupa polivinil klorida menutupi seluruh permukaan tanah. Bau plastik industrial menyapa penciumannya. Di kejauhan, tampak kerumunan pohon ramping tak berdaun dan tak bercabang.

Belum sempat Brivelon mencerna pemandangan ganjil ini, angka "100" muncul tiba-tiba di sudut penglihatannya. Didorong refleks, Brivelon melangkah mundur. Angka tersebut ikut mundur mengikutinya. Brivelon menoleh ke kanan dan ke kiri. Si angka tetap bertengger di sudut penglihatannya seperti jerawat yang mengganggu.

"MERUNDUK!"

Teriakan panik itu terdengar entah dari mana. Sekelebat bayangan berwarna jingga melewati atas kepala Brivelon, yang bisa jadi menyambar kepala sang Eistaat kalau ia tidak merunduk tepat waktu. Brivelon berbalik dan melihat makhluk apa yang hampir membuatnya kehilangan kepala itu. Ia ternganga melihat wujud si makhluk.

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang