36. Pulau Gua - Hari Ke-115 di Parasys (Bagian 4)

216 49 13
                                    

Reed dan Ausilium cepat-cepat mendekati Tihwa. Kunci logam di jari Tihwa yang tak berkuku memantulkan cahaya malam dengan kilaunya yang pudar. Dari sisi-sisinya yang tak rapi, Reed menduga pembuat kuncinya amatiran.

"Kemungkinan besar Nobore membuatnya sendiri, eh?" Ausilium menyuarakan pikiran Reed. Tihwa mengangguk setuju.

"Jika dia merasa perlu membawa kunci, berarti ada sesuatu yang harus ia buka." Tihwa menatap Reed mohon maaf. "Maaf terus merepotkanmu, Nak ...."

"Tidak apa-apa. Ini memang tugas saya," balas Reed menenangkan Tihwa. "Berarti saya harus mencari semacam peti berlubang kunci, benar?"

"Ya—entah peti atau benda lain. Yang pasti ada lubang kuncinya."

Reed mengangguk paham dan kembali mencari dengan kecepatan dua kali lipat. Ia terus maju hingga tiba di bagian belakang tubuh si monster. Sambil mencari, citra kotak serta peti harta karun terus menggantung di benak Reed. Reed yakin wadah-entah-apa milik Nobore tersebut berisi sesuatu yang bisa membawa mereka pergi dari Pulau Gua.

"Apa-apaan ini?"

Seruannya pasti terdengar Ausilium dan Tihwa karena mereka balas berteriak, "Ada apa, Nak?"

"Ada pintu di sini dan pintunya memiliki lubang kunci!"

"Maaf?" Sudah Reed duga, Ausilium dan Tihwa tak langsung percaya. Reed mengulangi kata-katanya. Ia bisa mendengar Tihwa berseru dalam bahasa yang tak ia pahami—kemungkinan bahasa ibunya. Dari intonasi sang Eistaat, Reed yakin Tihwa baru saja mengumpat.

"Filchen Ausilium, bolehkah saya meminjam tombak Anda?" Reed keluar dari dalam bangkai. "Saya akan memotong bagian belakang bangkai untuk memudahkan Anda berdua memeriksa pintu ini."

"Ya-ya ... boleh. Terserahlah. Akalku dipermainkan di sini." Ausilium memijat-mijat pelipisnya.

Reed mengambil tombak Ausilium dan menggunakannya untuk memotong bagian belakang tubuh si ulat. Lagi-lagi ia berdoa agar Tuhan mengampuninya karena telah bersikap sewenang-wenang pada bangkai seekor hewan. Setelah potongan bangkai terpisah sempurna, Reed menariknya ke tempat yang bebas asam agar Tihwa dan Ausilium bisa memeriksa pintu dengan aman.

Pintu itu tampil mencolok di antara jaringan yang membentuk daging si ulat. Bentuknya lingkaran sempurna dan materialnya, menurut perkiraan Tihwa, adalah platina. Tidak ada kenop ataupun gagang pintu. Hanya ada lubang kunci yang terletak di tepi lingkaran.

Ausilium angkat bicara setelah ia memijat-mijat pelipisnya yang kini memerah. "Tebakan liarku, Nobore menemukan pintu ini di pulau tempat ia muncul pertama kali, lalu menemukan atau membuat kuncinya, kemudian memasuki pintu. Malang, ia tidak tahu pintu ini membuka ke mana. Jadi setelah masuk melalui pintu ini ...."

"Ia tecerna asam si ulat," lanjut Tihwa masam. "Tempat ini benar-benar ...."

Tihwa mengumpat dalam bahasa ibunya lagi.

"Kenapa Eistaat Nobore merasa perlu melewati pintu ini?" tanya Reed. "Apa karena ada bahaya mengancam di tempat dari mana ia berasal?"

"Kemungkinan besar begitu." Tihwa mengumpat untuk ketiga kali. "Kita menemukan jalan keluar, tetapi dugaan kalau Nobore kabur dari arah sebaliknya membuat jalan ini jadi sia-sia. Untuk apa kita mendatangi tempat yang mendorong rekan kita kabur menjemput ajalnya?"

"Untuk menemukan rekan Reed dan Eistaat lain yang kemungkinan sedang bersamanya," jawab Ausilium segera. "Aku yakin baik Reed dan rekannya tidak dikirim ke tempat di mana mereka hanya sendirian. Paling tidak mereka harus bertemu satu Eistaat. Reed sudah bertemu kita. Rekannya pasti juga telah bertemu Eistaat yang lain."

Keengganan terpeta jelas di wajah Tihwa. Alisnya yang terpotong akibat terkena asam si ulat berkedut-kedut resah. Namun, ia tak membantah. Sang Eistaat dari Dolnare Barat itu paham Reed pasti ingin segera bertemu rekannya.

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang