47. Pulau Kerikil - Hari Ke-120 di Parasys (Bagian 1)

166 46 6
                                    

Benar kata Reed. Kesan sinting memang melekat erat pada sang Eistaat. Tatapan sang Eistaat tak fokus. Bola matanya berpindah-pindah melihat ke segala arah meski kepalanya tetap diam. Kedua lengannya bergetar dan salah satunya memegang tongkat kayu ulir. Detail kayu ulir juga menghiasi tiara gabus yang bertengger di rambut pirang sepanjang pinggul sang Eistaat. Selebihnya, ia memakai gaun biru muda lusuh yang menutupi mata kakinya.

Gara-gara bola mata sang Eistaat terus bergerak-gerak, Rosie tak bisa mendapat penglihatan berupa hal khas dari negara jagaannya. Paling tidak, ia bersyukur sang Eistaat tak lagi bertekad menghabisinya. Rosie memang tidak bisa mati ataupun terluka di Parasys. Namun, akan jauh lebih mudah kalau sosok yang harus ia lindungi tidak menaruh curiga padanya.

Sang Eistaat menurunkan kedua lengan dan berjalan menginjaki kantung-kantung air menuju tepian. Tongkat kayu ulir membantunya menstabilkan posisi. Kepalanya terus terarah pada Rosie. Sesaat Rosie takut sang Eistaat akan melakukan hal tak terduga. Maka dari itu, ia lega saat sang Eistaat mulai bicara dengan suara pelan.

"Saputanganmu," ucapnya. "Keluarkan saputanganmu."

Rosie mengangguk dan mengeluarkan saputangan Brivelon dari sakunya. Sang Eistaat memelototi gerak tangan Rosie, yang kemudian berpindah ke saputangan Brivelon setelah benda itu sampai di tangannya yang putih. Rosie tertegun. Baru ia sadari benang emas di saputangannya tak lagi memancarkan kilau seperti lidah api.

"Air dari sungai suci telah memadamkan amarah benda ini." Sang Eistaat mengumumkan. "Apa kau telah membuat kesalahan, Garbel?"

"Maaf? Anda memanggil saya apa?"

"Garbel. Panggilan untuk makhluk tanpa kekuatan gaib sepertimu. Maaf telah menuduhmu iblis. Ternyata kau cuma manusia biasa."

Sang Eistaat menyambar tangan Rosie dan menekannya kuat-kuat ke keningnya sendiri. Sebelum Rosie ataupun Reed sempat bereaksi, sang Eistaat melepas tangan Rosie, membiarkannya terayun kembali ke sisi tubuh si gadis.

"Ini caraku menunjukkan penyesalan yang dalam. Sekarang biarkan aku mencuci kakimu ...."

"Tidak perlu. Ini sudah cukup, Filchen." Refleks Rosie menjauhkan kakinya dari sang Eistaat. "Sebagai gantinya, bisakah kami meminta waktu Anda?"

"Tentu. Kau mau aku menyajikan buah-buahan paling segar untukmu dan pasanganmu?"

"Kami teman dan rekan satu misi, bukan pasangan," ralat Reed dengan wajah memerah. "Kami juga tidak memerlukan pelayanan dalam bentuk apa pun, terima kasih. Kami hanya ingin mendengar penjelasan Anda tentang ... semuanya."

Awalnya Rosie hendak memprotes mengapa Reed tidak langsung menanyakan keberadaan Ausilium dan yang lain. Kemudian ia menyadari peristiwa yang baru mereka lewati terlalu tak masuk akal. Eistaat berperilaku bak dukun berkeras menuduh Rosie jelmaan iblis, menyerang Rosie dengan kekuatan air dan esnya, lalu tanpa penjelasan apa-apa mencabut tuduhannya terhadap Rosie. Reed pasti mulai kewalahan menghadapi semua ini.

Sang Eistaat memandangi Reed lama. Alih-alih duduk dan memberi penjelasan, ia malah berjalan ke arah sungai.

"Filchen, saya mohon ...." pinta Reed. Tanpa mengindahkan suara memelas Reed, sang Eistaat mengangkat tangan tinggi-tinggi menghadap sungai. Saputangan Brivelon yang masih tergenggam menjuntai dari sela jemarinya, seolah sang Eistaat menjadikan benda itu bagian dari ritual.

"Jiwa-jiwa suci tak berdosa!" panggilnya. "Atas perintahku, KELUARLAH!"

Pada detik pertama tak terjadi apa-apa. Baru pada detik kedua, sungai kantung air bergemuruh membentuk ombak besar. Sembilan celah terbentuk di sana. Perlahan-lahan, naiklah kesembilan Eistaat dari celah tersebut. Puncak kepala mereka muncul lebih dulu, disusul wajah dan kemudian bagian tubuh. Mereka tampak bak musisi yang hendak tampil di panggung. Hanya alih-alih tersenyum atau berpose, kesembilan Eistaat buru-buru keluar dari celah dengan ekspresi berang.

ParasysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang