Gue termenung di depan cermin besar yang memantulkan keseluruhan badan gue. Gue udah rapi dengan seragam sekolah, tinggal menyemprotkan parfum dan menyisir rambut.
Gue menghembuskan napas dengan kasar. 'Apa secepat ini' perkataan itu berhasil memenuhi otak gue dari kemarin.
Dilema. Itu yang gue rasain sekarang. Sebelum kak Hanif nganterin gue ke rumah Stela, terlebih dahulu kita ngobrol sebentar, duduk di kursi depan minimarket.
"Sendirian aja?" Tanya kak Hanif. Setelah sekian menit kita hanya duduk diam sambil menikmati teh pucuk dingin.
"Hem, yang lain udah pada pulang."
Kak Hanif manggut-manggut. Dia menenggak kembali teh pucuk yang masih tersisa. Membuat jakunnya naik turun.
"Nanti lo pulangnya naik apa? Gue liat belanjaan lo banyak." Kak Hanif melongok plastik yang berada di samping kursi.
"Iya kak, tadi pesenan. Buat temen belajar." Jawab gue.
"Pesenan abang lo."
Gue menggeleng. "gue mau belajar bareng di rumahnya Stela."
"Oh.. mau gue anterin."
"Hem" gue mendongak cepat. Lalu menggeleng. "Nggak usah kak, gue bisa naik taksi online." Terang gue.
"Kenapa sih lo masih kaku aja sama gue." Kak Hanif terkekeh. "santai aja."
Gue tersenyum. Memang benar-benar canggung. Tapi gue harus tetep jaga image.
"Nes, yang kemarin itu bener pacar lo."
Gue langsung menggeleng. "Dia temen gue, hehehe.."
"Lo suka sama dia?"
Gue menelan ludah, ah. Kenapa gue jadi bingung mau jawab apa.
"Lo suka sama dia?" Tanya kak Hanif lagi.
"Enggak." Jawab gue cepat.
Kak Hanif terkekeh. "Dari yang gue lihat, dia suka sama lo."
Gue diam.
"Lo beneran nggak suka sama dia."
Gue menggeleng. "Kak Hanif kenapa malah bahas temen gue."
Kak Hanif tersenyum. Dia menggenggam tangan gue di atas meja. "Gue cuma mau mastiin, lo nggak suka sama dia."
"Buat__"
"Karena gue suka sama lo."
Seketika waktu berhenti berputar. Jantung gue udah nggak karuan detaknya, gue sampai nggak bisa ngomong apa-apa.
"Gue mau lo jadi pacar gue."
"Sejak kapan?" Tanya gue. Kak Hanif menatap gue bingung. "Em... Sejak kapan kak Hanif suka sama gue." Gue menjelaskan.
Kak Hanif tersenyum manis. "Kemarin kayaknya. Tapi udah dari dulu gue sering berhatiin lo."
Panas. Pipi gue langsung terasa panas, udah di pastikan muka gue udah kayak kepiting rebus.
"Gimana, Nes."
Tepuka di bahu gue berhasil menarik kesadaran gue. Ah, gue malah ngelamun.
"Udah siang, malah bengong. Cepet sisir rambut lo. Kayak gembel." Cibir bang Brian sambil berjalan keluar dari kamar gue.
Gue mendengus. Untung gue masih butuh dia, kalo nggak udah dari dulu gue minta Papi coret nama bang Brian dari kartu keluarga.
"Cepet, Nes."
"Iya!" Jawab gue ngegas.
•••
Bel istirahat udah berbunyi lima menit yang lalu. Tapi gue masih duduk di dalam kelas. Padahal perut udah kelaparan, tapi gue males ketemu keempat manusia yang dari kemarin ledekin gue terus.
"Neska! Kantin kuy!" Teriak Bianca dari depan pintu kelas gue. Cewek bar-bar yang nggak tau malu emang.
"Nggak." tolak gue. Gue masih sebel sama Bianca.
"Janji deh, nggak bakalan ledekin lo terus."
"Nggak." Gue membuka novel dari dalam laci meja gue.
Bianca memasuki kelas gue dengan sedikit berlari. Dia duduk di bangku depan meja gue.
"Ayo dong, gue laper." Rengek Bianca sambil menggoyang-goyangkan lengan gue, sampai-sampai novel di tangan gue juga ikut bergerak.
"Bi!" Sentak gue. "Gue nggak mau."
Bianca memajukan bibirnya. "Nggak asik lo." Bianca menghentak-hentakkan kakinya. Sekarang dia lagi dalam mode ngambek.
Gue menghembuskan napas. Gue yang marah kenapa dia yang ngambek.
"Bi, gue nggak laper." Selesai gue mengatakan itu, perut gue malah berbunyi. Ah, sial.
"Udah yuk ah, nggak usah banyak drama."
Gue pasrah waktu Bianca narik tangan gue keluar kelas. Sepertinya emang gue laper.
•••
"Henggar lo mau bolos ya."
Henggar menampel bibir cowok berkacamata bulat, dengan baju super rapi. Nggak ketinggalan rambutnya klimis banget.
"Sssttttt." Hanggar menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Dia menggendong tasnya di punggung.
"Hai Love."
Henggar menyandarkan tubuhnya ke depan pintu. "Dari mana." Tanyanya.
"Kantin."
Dengan muka yang masih terlihat sedikit pucat, bibir yang pecah-pecah. Menegaskan bahwa dia masih kurang sehat. Tapi melihat kelakuannya yang ngeselin, membuat gue mendengus sebal.
"Bisa minggir, gue mau lewat."
Henggar bergeser sedikit. Hanya sedikit, dan gue masih nggak bisa masuk.
"Ck, gue mau masuk." Kesal gue.
Henggar tersenyum manis. "Lo nanti pulang bareng siapa?"
Gue melipat tangan di depan dada. "Minggir gue mau lewat." Sebenernya gue udah bosen sama pertanyaan Henggar yang itu-itu mulu padahal dia udah tau jawabannya 'gue nggak akan mau pulang bareng dia'
"Sama si Arab ya." Kata dia santai.
"Kalo lo tau kenapa harus nanya." Cibir gue. Gue memalingkan muka.
"Ya, siapa tau lo udah mau pulang bareng gue."
"Sekarang lo minggir gue mau lewat." Dan akhirnya Henggar menggeser badannya, memberi jalan buat gue.
"Love." Baru selangkah tangan hangat Henggar mencekal tangan gue. "Nanti pulangnya ati-ati. Bilang sama si Arab jangan ngebut-ngebut. Gue mau bolos"
Henggar maju selangkah, sekarang dia udah berdiri persis di belakang gue. Hembusan napasnya terasa menggelitik di kuping gue. "Jangan kangen." Bisiknya dengan suara serak.
Tanpa mengatakan apapun gue melepas cekalan tangan Henggar lalu pergi ke bangku gue. 'jangan buat gue semakin susah move on dari lo'
•••
Seperti yang udah aku kasih tau di chapter sebelumnya.
Kita bakalan ketemu seminggu dua kali.
Tetep stay sama Henggar dan Neska ya. Kita ketemu lagi di hari Senin depan.Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote dan komenBudayakan membaca
Baybay👋TBC
Bms, 18/03/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
OH MY OM
Teen Fiction"OM!" "udah di bilangin jangan ikut-ikutan panggil gue OM" "Suka-suka gue dong" "Mulai hari ini panggil gue sayang" kata Henggar sungguh-sungguh. "Kalo gue nggak mau" tantang Aneska, melipat tangannya di depan dada. "Apa susahnya sih love kita fl...