40. HENGGAR •Darah tinggi•

434 20 9
                                    

Dengan gerakan pelan gue duduk di sofa balkon. Jam hampir menunjukkan pukul 2 pagi, tapi gue belum juga bisa tidur bukan karena nggak ngantuk tapi karena perut gue yang lagi bermasalah.

Gue mengatur nafas sambil beristighfar dalam hati, pusing dan lemas belum lagi perih, mual dan sensasi seperti terbakar di ulu hati menambah penderitaan gue pagi ini.

Handphone di tangan gue bergetar menampilkan panggilan masuk dari Papa, gue berdecak kenapa di saat seperti ini harus Papa yang telfon. Gue masih dalam mode marah dan lagi nggak mau ngomong sama Papa.

Gue cuma menatap layar handphone sampai panggilan telfon mati, gue memejamkan mata sambil merasakan udara pagi yang begitu dingin menusuk kulit. Tangan gue masih sibuk menempelkan botol yang berisi air hangat ke perut  meski tidak bisa menghilangkan tapi seenggaknya perut gue agak mendingan.

Gue menoleh mendengar seperti ada yang membuka pintu kamar gue, karena lampu kamar gue yang di biarkan mati membuat gue tidak bisa melihat siapa yang masuk.

Gue menunggu sampai suara langkah kaki mendekati balkon, dan ternyata Papa.

"Kenapa belum tidur." Tanyanya.

"Belum ngantuk." Jawab gue seadanya.

"Kamu sakit?"

Gue menggeleng.

"Papa udah nungguin kamu makan malam, kenapa nggak turun?"

"Aku ketiduran pah." Alibi gue. Kalo aja lagi nggak dalam mode marah udah gue usir Papa dari kamar.

"Kalo udah ngantuk tidur aja, pindah ke kasur. Di luar dingin banget loh." Kata Papa sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

Gue menggeleng. Bukan, bukan karena gue nggak ngantuk. Tapi karena badan gue yang lemes jadi males jalan. mau minta tolong ke papa, gengsi.

Gue melipat tangan di depan perut untuk menekan sumber rasa sakit. Gue mulai memejamkan mata membiarkan Papa yang  duduk di samping gue, nggak tau apa tujuannya datang ke kamar gue di pagi buta seperti ini.

...

Gue membuka mata saat di rasakan sebuah tangan mengelus rambut gue.

"Pagi, anak gantengnya Mama." Sama Mama sambil tersenyum.

"Pagi Ma." Jawab gue, setelahnya gue meringis merasakan perut gue yang masih terasa sakit.

"Kenapa? Ada yang sakit."

Gue mengangguk. "Perut Henggar sakit." Jawab gue jujur.

"Mau makan?"

Gue menggeleng. "Mau muntah Mah." Gue menutup mulut saat sesuatu di dalam perut gue naik ke tenggorokan. Dengan gerakan cepat gue berjalan menuju kamar mandi lalu membungkuk di depan closed.

Mama memijat tengkuk leher gue, nggak ada yang gue keluarin selain air tapi kenapa gue masih merasa mual.

"Udah, udah. Jangan di paksa nanti perut kamu makin sakit."

Gue kembali berjalan menuju tempat tidur di bantu Mama.

"Kedokter aja ya, badan kamu panas banget." Kata Mama sambil menempelkan punggung tangannya di dahi dan leher gue.

Gue yang udah nggak bisa jelasin apa yang gue rasain cuma bisa meringkuk sambil memejamkan mata. Semuanya sakit.

"Henggar, hey." Gue masih bisa mendengar Mama terus manggil gue, tapi nggak tau kenapa cuma mau buka mata dan ngomong aja rasanya nggak bisa.

"Papa!"

Nggak lama gue mendengar suara langkah kaki yang masuk ke dalam kamar gue.

"Papa Henggar, Pa."

OH MY OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang