36.HENGGAR •Istighfar•

214 29 0
                                    

Perih, gue ngerasa benar-benar nyampe ke otak, belum lagi kuping gue berdenging. Buat beberapa detik gue nggak bisa ngomong apa-apa, meski Neska mengusap-usap punggung gue dan sesekali menepuknya pelan. Setelah gue bisa mengendalikan diri gue sendiri baru gue menerima air putih yang sejak tadi Neska pegang.

"Pelan-pelan Nggar." Ucapnya lembut.

Gue mendongak melihat siapa pelaku yang udah bikin gue hampir mati. Gue menghembuskan napas dengan kasar.

"Kenapa?" Tanya gue singkat.

"Ambilin buku matematika gue di rumah." Kata kak Riska melipat tangannya di depan dada, nggak ketinggalan muka angkuhnya yang udah melekat.

"Ck, gue telfon pak Karjo aja suruh bawain kesini." Gue mengambil handphone di saku celana gue.

"Gue maunya lo, pak Karjo lagi nggak bisa udah gue telfon."

Lah emang kak Riska punya nomernya?

"Malah bengong udah sana."

"Lo aja deh, hidung gue masih perih nih, nyampe meler gini." Gue mengelap hidung gue dengan tissue, tenggorokan gue juga jadi perih. Belum lagi kepala gue jadi pusing.

"Gue kan nyuruh lo, kenapa lo balik nyuruh gue." Bentak kak Riska.

"Siapa sih Nggar? Minta tolong kok nggak sopan banget." Sinis Bianca.

"Gue nggak ada urusan sama lo." Gue meringis melihat kak Riska dengan aura iblisnya.

"Henggar itu temen gue. Dan gue juga nggak suka sama orang yang nggak sopan."balas Bianca nggak kalah.

"Gue ini senior lo!" Bentak kak Riska.

"Udah-udah." Lerai gue sebelum suasana makin memanas.

"Diem lo!" Kata mereka kompak.

Gue nurut langsung diem, dari pada kepala gue tambah pusing.
Setelah memberikan waktu buat Bianca dan kak Riska berdebat barulah Bintang menyeret Bianca keluar dari kantin.

Gue bisa bernapas lega.

"Inget tugas lo, gue tunggu di kelas." Setelah mengatakan itu kak Riska dan ketiga antek-anteknya pergi dari kantin.

Gue menggebrak meja cukup keras, untuk menyalurkan kekesalan, mau nolak pun rasanya percuma. Sampai Neska yang masih duduk di samping gue kaget.

"Eh, love maaf ya." Sesal gue. Sampe lupa kalo masih ada Neska.

"Dia itu siapa?" Tanya Neska.

Gue menghela napas, emang nggak ada yang tau kalo kak Riska dan gue itu saudara tiri.

"Senior kita." Jawab gue.

"Iya gue tau, tapi kenapa di nyuruh lo buat ambil bukunya di rumah."

Gue tersenyum, melihat muka Neska yang lagi penasaran membuat gue gemas.

"Dia kakak gue." Sebelum pergi gue mengusap rambut Neska. "Gue pergi dulu, baksonya udah gue bayar tapi sayang nggak habis." Gue melirik bakso yang tadi gue makan tinggal setengah dengan kuah merah yang udah tumpah kemana-mana.

OH MY OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang