18.HENGGAR •Masih Sial•

274 37 0
                                    

"Pa."

"Hem."

"Henggar mau ngomong."

Papa masih fokus ke laptopnya. Nggak tau banget apa, ati gue udah deg-degan gini. Ini waktu yang pas buat gue kasih surat dari sekolah, mumpung nenek belum keluar kamar.

"Papah." Kesal gue.

"Apa sih Nggar."

"Tau nih berisik banget, nggak tau apa gue lagi ngerjain tugas." Kata bang Haikal yang lagi tengkurap di karpet.

"Lo kan punya kamar, kenapa juga kudu ngerjain tugas di depan TV."

"Kenapa jadi berantem sih." Lerai Mama. "Kak, udah belum." Panggil Mama ke kak Anggi yang katanya lagi goreng pisang.

"Udah siap." Kak Anggi keluar dari dapur membawa sepiring pisang goreng.

"Henggar tadi mau ngomong apa." Tanya Papa tiba-tiba, membuat gue jadi tersedak pisang goreng yang lagi gue makan. Buru-buru Mama kasih gue segelas air.

"Hati-hati makanannya." Peringat Mama. "Mau ngomong apa sih." Tanya mama lagi.

Gue meletakkan kembali gelas yang airnya tersisa setengah, lalu menatap Papa dan Mama takut-takut.

"Malah bengong mau ngomong apaan." Bang Haikal menyenggol lengan gue.

Gue menghembuskan napas dengan kasar. "Henggar di skors terus dapet surat juga." Gue menyerahkan amplop ke Papa.

"Kok bisa!" Pekik bang Haikal dan kak Anggi kompak. Gue hanya menggeleng, menunggu Papa dan Mama selesai membaca surat dari sekolah.

"Sekarang jelasin ke Papa." Perintah Papa dingin.

Gue menelan ludah. Papa mode tegas, on.

•••

"Tindakan kamu itu tidak bisa di betulkah, dia memang menyakiti hati kamu tapi kamu juga menyakiti fisiknya."

Gue meremas tangan untuk meredam emosi. Sekeras apapun gue jelasin, pasti gue yang salah. Karena memang yang orang lihat hanya luka fisik, bukan luka hati.

"Kalau dia nggak bawa-bawa Mama, Henggar juga nggak akan terbawa emosi!" Elak gue.

Papa bersandar ke sandaran sofa. Mama mengusap-usap bahu Papa. Gue menunduk lalu memijit pelipis gue yang tiba-tiba berdenyut.

"Tapi kamu bisa omongin dengan cara baik-baik tidak perlu dengan kekerasan."

Gue mendongak. "Mereka ngatain aku anak haram, mereka juga ngatain Mama, wanita nggak benar apa aku masih bisa sabar, Pa." Kata gue dengan emosi.

Gue memalingkan muka saat Mama mulai menangis di samping Papa. Kak Anggi berpindah memeluk Mama.

"Bukannya memang seperti itu kenyataannya."

"Bu!" Pekik Papa.

Nenek duduk di sofa. Menatap gue sinis. Gue kembali menunduk.

"Kamu terlalu manjakan dia, lihat sekarang. Bikin malu orang tua, mau jadi tukang pukul?"

Ingin rasanya gue pergi dari sini. Tapi itu akan terkesan nggak sopan.

"Bu, aku bisa mendidik Henggar dengan caraku sendiri." Mama mengusap bahu Papa dengan kak Anggi yang masih memeluk mama dari samping.

"Dari dulu kamu bilang seperti itu. Tapi apa hasilnya anak kamu makin kurang ajar. Dia juga sudah berani berbicara kepada orang tua, dengan nada tinggi."

Gue semakin menunduk, merasa bersalah. Papa dan nenek selalu berselisih paham karena gue.

"Henggar masuk kamar, besok Mama yang bakal pergi ke sekolah kamu." Perintah Mama. Gue mengangguk.

OH MY OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang