24.NESKA •Pelindung•

263 36 0
                                    

Ingin rasanya gue menubruk Henggar, memeluk dia erat-erat. Meluapkan rasa kekhawatiran gue, meliat Henggar nggak sadarkan diri kemarin membuat gue takut setengah mati.

Tapi yang bisa gue lakuin cuma bisa berdiri di ambang pintu dengan muka datar seperti biasa. setidaknya gue bisa bernapas lega, Melihat Henggar yang udah bisa memperlihatkan rasa tak suka karena kedatangan gue dan kak Hanif, berarti dia udah baik-baik aja. Meski pucat dan bibir kering masih kentara. Bahkan Henggar masih terlihat imut di mata gue.

Bener-bener beruntung, cewek yang nantinya bakal jadi pasangannya. Gue sebenernya suka nggak rela kalo udah mikir kayak gitu, gue juga nggak boleh egois. Henggar berhak dapetin yang terbaik, nggak kayak gue yang cuma bisa nyakitin Henggar terus.

Tepukan pelan di bahu gue, menyadarkan gue dari lamunan.

"Beneran nggak mau makan?"

Gue menggeleng. Setelah keluar dari kamar rawat Henggar kak Hanif ngajakin gue ke kantin dulu.

"Kalo lo nggak nyaman sama situasi kayak gini kenapa masih lo pertahanin."

"Gue nggak mau Henggar---"

"Lo nggak bisa terus-terusan ngorbanin diri lo sendiri Nes. Di sini Henggar juga pasti sakit. Dia juga pasti tambah benci banget sama gue."

Gue menunduk "Maaf." Cicit gue. "Kalo kak Hanif---"

"Gue ikhlas bantuin lo, tapi mau sampai kapan."

Gue menghela napas. "Nggak tau kak, tapi biarin kayak gini dulu."

"Nes, lo nggak sendiri." Kata kak Hanif menggenggam tangan gue.

"Makasih kak."

"Kita pulang sekarang." Ajak kak Hanif.

Selama perjalanan ke parkiran kak Hanif terus menggandeng tangan gue.

•••

"Lo tunggu di sini, tadi gue parkirnya agak jauh." Kak Hanif mengusap rambut gue. Beruntungnya gue bisa sedekat ini sama dia.

"Iya kak." Gue duduk di sebuah kursi. Dari sini parkiran nggak terlalu jauh sebenernya, namanya juga kak Hanif. Nggak mau liat gue capek karena harus menyamai langkah dia yang lebar.

"Wah, siapa ini. Kok bisa kebeneran banget ketemu disini."

Gue yang tadinya duduk langsung berdiri. Gue melirik kanan dan kirin, sepi. Meski gue masih bisa melihat kak Hanif. Tapi lidah gue kelu cuma buat memanggil kak Hanif.

"L---lo mau apa?" Tanya gue was-was.

Dia tertawa. "Kenapa? Takut? Gue nggak bakalan ngapa-ngapain lo atau orang yang lo cintai itu. Kalo lo nurut sama gue."

Kalo aja gue punya keberanian udah gue tonjok muka dia yang menyebalkan.

Dia maju satu langkah, tapi gue mundur dua langkah. Dia tertawa. "Jangan takut baby."

Gue menggeleng, "jangan macem-macem ya, gue udah turutin semua kemauan lo."

Dia berhenti melangkah. Menatap gue dengan senyum yang mengerikan. "Semua?" Tanya dia. "Lo masih deket-deket sama Henggar, tuh." Kata dia sambil memainkan kunci mobilnya yang terdapat pisau lipat kecil.

"Sebenernya gue punya salah apa ke lo!" Sentak gue. Mata gue masih tertuju sama kunci mobil yang masih dia mainkan.

"Em... Apa ya, lo nggak salah, sih. Gue cuma nggak suka lihat Henggar bahagia. Tapi setelah tau kebahagiaan Henggar itu lo, jadi gue minta sama lo jangan deket-deket sama dia. Lo tau sendiri kan' apa konsekwensinya, kalo lo masi deket-deket sama Henggar." Dia melipat tangannya di depan dada. "Oh satu lagi, buat dia benci sama lo." Kata dia santai.

Tangan gue terkepal kuat. "Kalo gue nggak mau." Tantang gue. Padahal gue udah ketakutan.

Gue menelan ludah. Dia berjalan mendekati gue. "Kalo lo nggak mau, siap-siap, Henggar mungkin cuma tinggal nama." Katanya setengah berbisik.

Perasaan gue semakin nggak tentu antara takut dan kesal. Gue memejamkan mata saat tangannya terulur, sebelum menyentuh pipi gue. terlebih dahulu kak Hanif menarik gue untuk berdiri di belakangnya.

Kak Hanif mendorong bahu Dino sampai dia mundur selangkah.

"Rupanya ada pahlawan kemalaman. Gimana kabar lo 'mantan sahabat'." Dia terkekeh. "Ternyata lo masih kayak dulu. Sok, jadi pahlawan." Sinisnya.

"Jangan pernah sekalipun lo sentuh Neska dengan tangan kotor lo." Desis kak Hanif.

Dia tertawa. "Gue udah cuci tangan kok. Btw Lo itu siapanya dia. Kenapa harus marah? Oh.. gue tau dia mainan baru lo?"

"Bangsat!"

Bugh

Dino yang mendapatkan tinjuan di pipi kirinya langsung tersungkur.

"Jaga ucapan lo!"

Dino tertawa.

"Gue udah sering ingetin ke lo. Buat Stop! Ngelakuin ini, Al! Lo udah nyakitin banyak orang, lo itu cuma terobsesi sama Riska bukan cinta!"

Dia masih duduk di atas paving, memandang kak Hanif dengan sorot mata yang berbeda, bukan sorot mata seperti biasa tajam dan penuh kebencian. Yang gue tangkap dari sorot matanya sekarang adalah kesedihan.

"Lo itu nggak tau apa-apa." Jawab Dino menyeka sudut bibirnya yang terdapat bercak darah.

Kak Hanif menggenggam tangan gue. "Gue anterin pulang."

"Nif." Panggil Dino

Langkah kita terhenti. "Kembali. Gue rindu sahabat gue yang dulu." Kata kak Hanif sebelum masuk ke dalam mobil.

•••

Selama di mobil kak Hanif nggak ngomong apa-apa dia cuma fokus ke jalan. Gue juga nggak berani tanya macem-macem, cuma liat mukanya aja gue bisa tau kalo dia nggak lagi baik-baik aja setelah pertemuannya sama Dino.

Percakapan kak Hanif dan Dino di parkiran masih berputar di otak gue. Banyak pertanyaan yang pengin gue tanyakan sebenernya. Kak Hanif sahabatnya Dino? Kenapa gue baru tau fakta itu. Kak Hanif pernah cerita kalo dia pernah punya sahabat namanya 'Al'. Apa 'Al' yang di maksud itu Aldino?

Apa karena ini juga kak Hanif mau bantuin gue. Iya, gue udah jujur sama kak Hanif tentang gue yang sering di ancem Dino. Dan respon kak Hanif cuma tersenyum dan bilang 'gue bakalan bantu lo dan jagain lo'

Kak Hanif juga nggak marah waktu gue ngomong kalo gue nggak beneran cinta sama dia gue cuma kagum, tapi lagi-lagi respon dia cuma mengangguk dan bilang 'iya, gue tau'. Tapi setelahnya dia benar-benar over protective ke gue. Kemanapun harus sama dia.

Risih? Nggak. Gue malah ngerasa aman. Kak Hanif itu pelindung gue.

•••

Enak yah, jadi Neska

Votenya mana?
Tekan dulu sekarang
Komen juga, deh

Sampai bertemu di hari kamis

Budayakan membaca
Baybay👋

TBC

Bms, 26/04/2021

OH MY OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang