22.HENGGAR •Mimpi•

314 35 0
                                    

Gue udah pasrah kalo iya kemarin itu hari terakhir gue hidup. Rasanya udah nggak karuan semua badan gue sakit, lemes juga sampai nggak bisa di gerakin. kepala pusing, tenggorokan sakit. Di tambah mimisan banyak.

Dari pagi gue di tinggal sendirian di rumah. Mama sama papa nggak tau kemana, abang sama kakak udah jelas ngampus. Mbak Sri pergi kepasar.

Suara Neska adalah yang terakhir kali gue ingat. Suara yang mengalun indah lewat sambungan telepon, suara yang juga bikin gue takut. Takut kalo nanti setelah ini gue buka mata kita udah berbeda alam.

Tapi syukur Alhamdulillah. Pas gue bukan mata tadi, pemandangan pertama yang gue liat adalah wajah Mama dan Neska.

"Kak, kepala gue sakit." Rengek gue. Kak Anggi yang lagi rebahan di samping gue menoleh.

Neska, Ajeng sama Esa udah pulang sejam yang lalu. Mama sama Papa lagi di kantin. Di sini cuma ada gue sama kak Anggi. Bang Haikal lagi otw ke sini.

"Sini." Kak Anggi merubah posisinya menjadi duduk.

Gue merebahkan kepala gue di pangkuan kak Anggi.

"Kok anget lagi." Kata kak Anggi meraba dahi dan leher gue.

"Nggar." Panggilannya

"Hem."

"Makan dulu, ya. Abis itu minum obat."

"Enggak." Tolak gue. Minum air putih aja rasanya pait apa lagi makan sama minum obat.

"Oke, kalo nggak mau sembuh."

Gue masih memejamkan mata, menikmati pijitan kak Anggi.

"Henggar."

"Apa?"

"Makan."

"Nggak mau kak. Pait" Rengek gue.

"Cih, manja banget." Cibir kak Anggi.

"Biarin." Jawab gue cuek.

"Lo habis ngapain aja sih, kemarin? sampai kayak gini." Tanya kak Anggi.

"Sebagai cucu yang berbakti, gue harus turutin apa kata nenek." Jawab gue.

"Berbakti. Termasuk jadi kuli panggul." Kata kak Anggi sinis.

Gue terkekeh. "Ganteng begini ya, kali jadi kuli panggul."

"Terserah lo." Sewot kak Anggi.

Gue membuka mata saat tangan kak Anggi berhenti memijat.

"Ck, terusin kak." Pinta gue.

"Males." Kak Anggi mengangkat kepala gue lalu bergeser turun dari ranjang rumah sakit.

Gue masih memperhatikan gerak-gerik kak Anggi yang menahan kesal.

"Kak." Panggil gue.

"Apa."ketus kak Anggi.

Gue merubah posisi menjadi duduk. Membuat kepala gue yang sakit tambah berdenyut.

"Lo kenapa sih?" Heran gue.

"Lo yang kenapa? Kalo nenek lo nggak sayang sama lo, ya udah. Nggak usah ngorbanin diri lo sendiri cuma buat hati nenek lo luluh." Sewot kak Anggi.

Gue tersenyum getir. "Gue nggak kayak lo sama bang Haikal yang pinter, sering bikin bangga Mama, Papa. Sedangkan gue, bodoh, bandel, sering bikin onar. Nggak sekali dua kali Mama, Papa di buat kecewa sama gue. Bahkan gue yang udah usaha keras, biar nenek menganggap gue sebagai cucu aja belum juga berhasil sampai sekarang. Gimana caranya, kak. Biar nenek sama kak Riska mau nerima gue jadi bagian dari mereka?"

OH MY OMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang