Samudra berdiri mematung, menatap Nana yang kelewat cantik di matannya. Sekian lama mengenal Nana, ini adalah pertama kalinya Sam melihat Nana berdandan dengan niat.
"Kenapa sih liatinnya gitu banget? Jelek ya? Makeupnya ketebelan?" Samudra menghentikan tangan Nana yang sibuk menepuk-nepuk pipinya, berusaha menghapus makeup yang tertempel.
Sam menggeleng "Jangan di hapus, kamu cantik banget" Nana bersemu.
"Tapi ada yang kurang" Sam maju satu langkah, memangkas jarak diantara mereka. Sebenarnya Nana merasa bingung dengan apa yang terjadi, tapi ia memilih memejamkan mata, namun saat ia telah sepenuhnya memejamkan mata, dengan pelan tangan Samudra menarik ikat rambutnya, dan dalam sekejap rambut Nana tergerai.
"Nah, ini baru sempurna" Samudra tersenyum bahagia menatap penampilan Nana. Nana masih tetap kaku di tempatnya, tidak memberikan respon apapun.
"Napas Na" Samudra menarik pelan hidung Nana, membuat Nana yang tadi tidak sadar menahan napas, seketika langsung membuang napas, dan terang saja, hal itu kian membuat Samudra tertawa renyah. Sangat berbeda dengan Nana yang setengah mati menahan malu.
'Barusan apa yang lo pikirin sih Na?' Nana menggerutu dalam hati, kesal dan malu dengan tingkahnya.
"Lets go" Sam membuka pintu mobil, mempersilahkan Nana untuk untuk masuk.
Mereka melakukan perjalanan dengan lebih santai ketimbang sebelum-sebelumnya. Dan tanpa perlu mengatakan apapun, mereka sama-sama sadar bahwa kini hubungan mereka tidak lagi sama seperti sebelumnya. Mereka terikat satu sama lain meski tanpa pernyataan. Nana sudah sepenuhnya menjadi milik Samudra meski ia tidak pernah mengatakan setuju.
Sampai di bioskop, Sam terus menggenggam tangan Nana, sejauh ini tidak ada reaksi buruk apapun, selain sesekali Nana tiba-tiba menggenggam lebih erat tangannya untuk menyalurkan rasa paniknya karena berpas-pasan dengan laki-laki asing.
"All is well?" Sam bertanya pada Nana yang berdiri di depannya. Saat ini, mereka sedang antri membeli tiket dan popcorn. Nana berbalik menghadap pada Sam, lalu mengangguk dan tersenyum untuk meyakinkan Sam, bahwa dirinya baik-baik saja.
Beruntung, hari itu antrean tidak begitu panjang, sehingga mereka tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berdiri berdampingan dengan orang-orang asing.
Nana berdebar-debar, namun kali ini bukan karena Samudra. Hal tersebut karena, untuk pertama kalinya ia bisa kembali merasakan atmosfir bioskop, atmosfir tempat umum yang sudah lama ia rindukan. Bahkan tanpa ia sadari, ia sudah berkaca-kaca.
"Hei, kok nangis? Kenapa?" Sam kaget mendapati Nana yang kini sudah meneteskan air mata, buru-buru ia menghapus air mata Nana menggunakan ibu jari.
"Nggakpapa, terharu aja. Akhirnya bisa balik nonton bioskop lagi. Dateng ke tempat umum lagi, ketemu sama banyak banyak orang lagi" Nana berujar lirih namun masih bisa didengar secara jelas oleh Sam yang kini kembali menggenggam tangannya dengan erat.
Selama hampir 3 jam Nana mengerahkan seluruh fokusnya pada ayar lebar yang ada di hadapannya, menikmati semua adegan film yang ditampilkan. Ia bahkan tidak memperdulikan Samudra dengan segala tingkah lakunya. Kadang-kadang Sam akan menyandarkan kepalanya di bahu Nana, kadang-kadang Sam akan kembali menggenggam tangan Nana, atau bahkan mengajak Nana ngobrol, membicarakan hal-hal tidak penting yang selalu membuat Nana melotot karena konsentrasi menontonnya jadi terganggu.
Bagaimana tidak, kalian bayangkan saja, saat mereka sedang menonton Sam dengan konyolnya justru mempertanyakan mengapa ayam itu bertelur bukan beranak? Mengapa sepatu diberi nama sepatu, mengapa langit ada di atas, dan pertanyaan-pertanyaan absurd lainnya yang membuat Nana kesal setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra Cinta (TAMAT)
ספרות לנערותSam jatuh hati di pandangan pertama pada seorang Nana, namun tentu tidak begitu dengan Nana, yang justru membenci Sam setengah mati, karena telah mengembalikan traumanya. Disisi lain, pria playboy macam Sam adalah jenis pria yang paling ingin dihind...