#2 : "Kesempatan Satu Tahun"

9.4K 863 8
                                    

Aisha tak pernah terbiasa dengan suasana rumah sakit. Meski sekarang adalah kunjungan kesepuluhnya, ia masih saja merasakan perasaan tidak enak setiap kali duduk di ruang tunggu ini. Ia tidak nyaman dengan bau disinfektan yang menyebar di seluruh ruangan, ia tidak nyaman dengan AC yang terlalu dingin, ia tidak suka dengan tayangan gosip yang membosankan di atas sana, ia juga tidak nyaman dengan raut wajah semua orang yang terus menunduk sedih. Namun, di atas semuanya, rasa-rasanya hal yang paling membuatnya terganggu ialah kenyataan bahwa tempat ini adalah tempat untuk orang sakit. Dan jika ia duduk di sini sekarang, maka itu berarti ia juga memiliki penyakit yang mungkin sama dengan orang-orang di ruang tunggu ini.

Tiga bulan lalu, ia dirawat di rumah sakit karena mengalami cedera saat berlatih balet. Saat itu ia sedang menarikan tarian solo untuk pertunjukkan Giselle, ketika hitungannya salah saat melakukan arabesque. Kesalahan kecil itu membuatnya terpeleset dan berakhir dengan tulang kaki yang retak. Kakinya bahkan harus dibebat gips selama berminggu-minggu. Aisha sama sekali tak khawatir, pada saat itu ia mengira cederanya akan berakhir begitu gipsnya dilepas. Namun, bahkan setelah gips-nya dilepas dan kakinya dipastikan boleh digerakkan kembali, ia merasakan kakinya malah semakin sakit setiap kali digerakkan untuk berlatih balet.

Awalnya rasa sakit itu biasa saja, dan ia hanya menganggap itu bagian dari rasa sakit karena penyembuhan tulang. Tapi bahkan setelah kakinya benar-benar sembuh dan bahkan bisa digunakan untuk melakukan pointe, arabesque, juga berbagai gerakan sulit dalam balet lainnya, rasa sakit itu tetap saja bertahan. Malah, bertambah sakit selama beberapa bulan berikutnya. Ia bahkan bisa mengerang hingga menangis sepanjang malam karena rasa sakit yang sangat menyiksa tersebut.

Selain itu, Aisha juga mulai menyadari ada benjolan di kakinya, benjolan itu tidak akan terlihat jika tidak diperiksa dari dekat, tapi benjolan itu tak mau menghilang dari kakinya selama berminggu-minggu berikutnya. Karena bingung, Aisha mulai mencari tahu tentang 'keanehannya' di internet. Sayangnya, tidak peduli seberapa banyak ia mencari artikel, penjelasan dokter, hingga tulisan anonim di internet, semua itu hanya merujuk pada suatu penyakit, kanker tulang.

Aisha merasa gugup pada awalnya. Siapa memangnya yang tidak begitu jika ia memiliki gejala penyakit yang mematikan? Tapi Aisha mencoba berpikir positif, ia berkali-kali berkata pada dirinya sendiri agar tak terlalu mempercayai internet. Itu bisa saja overthinking-nya sendiri dan setelah menemui dokter, ia mungkin akan mentertawakan pemikiran berlebihannya. Gejala seperti itu, mungkin bukan hanya di derita penderita kanker tulang, bukan?

Sayangnya, bahkan dokter juga memiliki kecurigaan yang sama dengannya. Saat Aisha menjelaskan keluhannya pada dokter umum, ia segera dirujuk ke dokter ortopedi. Dan setelah itu, dokter memintanya menjelaskan rasa sakitnya secara terperinci lengkap dengan riwayat kesehatan dan obat-obatannya sebelum akhirnya dirujuk lagi ke dokter onkologi. Dengan dokter terakhir itu, ia diminta melakukan sejumlah tes yang aneh dan menyakitkan. Sejumlah tes itu adalah foto rontgen, CT scan, MRI, kemudian pengambilan sampel jaringan di bagian kakinya yang bengkak (biopsi). Dan semua hasil dari tes melelahkan itu baru akan Aisha ketahui sekarang.

Pintu ruangan mendadak terbuka dengan bunyi nyaring. Secara reflek, semua orang menoleh ke arah pintu yang terbuka itu. Di depan sana, tampak satu keluarga keluar dari ruangan dengan diiringi seorang suster. Wajah sang ibu tampak memerah habis menangis, wajah sang ayah juga mengeras. Hanya putra mereka yang sepertinya berusia sepuluh tahunan yang tersenyum ceria. Mereka bertiga tampak berjalan tanpa memedulikan siapapun di ruang tunggu.

Melihat pemandangan itu seketika Aisha tertegun. Jika ia benar-benar di diagnosa terkena kanker, siapa yang akan merawatnya seperti anak itu? Ia tidak punya siapapun di dunia ini. Kakaknya mungkin akan membantu, tapi tentu saja tidak akan bisa siaga dua puluh empat jam. Bagaimanapun, kakaknya itu juga punya kehidupan. Ibu tirinya? Sepertinya ibu tirinya akan lebih senang mendengar ia sakit daripada mendengarnya sehat. Ia tak punya siapapun yang bisa diandalkan layaknya anak itu. Aisha mendadak semakin takut.

Just For One Year [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang