Vero berlari menyusuri koridor rumah sakit yang telah ia hapal di luar kepala. Ia mengabaikan tatapan sinis dari para perawat yang nyaris menjatuhkan benda di atas troli atau seruan marah dari sejumlah orang yang berusaha menghindarinya. Jantungnya berdebar keras tak sabar menemui Aisha lagi.
"Vero cepat ke rumah sakit! Aisha...."
"Aisha kenapa ma?"
"Operasi Aisha berhasil!"
Perkataan dari ibunya di telepon terus terngiang-ngiang di benaknya. Sepanjang jalan dari pemakaman ibu kandung Aisha hingga ke rumah sakit cukup membuatnya gila karena ia sudah tidak sabar lagi melihat istrinya itu. Begitu ia membelok ke ruang operasi, ia berpapasan dengan Kiara. Wajah gadis itu memerah dengan air mata, tapi dia tersenyum lega melihat Vero.
"Dia sudah dipindahkan ke kamar rawatnya kembali," kata Kiara sebelum Vero sempat berkata apapun.
"Thanks!" balas Vero yang segera berbalik tanpa menghela napas terlebih dahulu. Ia berlari menuju kamar rawat yang telah ditempati Aisha selama beberapa hari terakhir.
Di depan kamar rawat itu, Vero bisa melihat ibunya dan ibu tiri Aisha tengah berbincang dengan nada pelan. Dua wanita itu tampak tersenyum ketika melihatnya.
"Aisha ada di dalam, tapi dia masih belum sadar," kata ibunya.
Tanpa berkata apapun lagi, Vero segera melangkah masuk ke dalam ruang rawat itu dan segala kecemasan juga kepanikannya hari ini sirna seketika begitu ia melihat Aisha terbaring di atas tempat tidur. Langkahnya segera menuju gadis itu lalu duduk di sampingnya.
Vero segera menggenggam tangan Aisha seraya mengamati seluruh tubuh gadis itu. Darah di tubuh Aisha tampaknya telah dibersihkan, sekarang ia memakai pakaian rumah sakit yang bersih. Sosoknya tidak berbeda dari ketika ia tidur biasanya. Hanya saja, kini sebelah kakinya di-gips dan dipasangi alat besar yang Vero tidak tahu apa namanya. Hatinya agak sakit melihat Aisha dalam kondisi menyedihkan seperti ini.
"Vero...."
Vero mendongak begitu mendengar Aisha memanggilnya. Benar saja, gadis itu sudah membuka mata, tatapannya tampak sayu karena tidak sepenuhnya bangun.
"Aku di sini." Vero berkata pelan seraya menggenggam tangan Aisha lebih erat.
"Jangan lepaskan tanganmu...." bisik Aisha sangat lirih.
Vero tersenyum kemudian mengangguk. Ia sudah merasakan kecemasan yang nyaris membuatnya gila sepanjang hari ini, bagaimana ia bisa melepaskan tangan ini lagi? Jika bisa, Vero bahkan tak akan rela berpisah darinya bahkan sedetik saja.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Vero kemudian.
"Aneh...." Aisha menjawab pelan, "Aku merasa masih bingung, seakan ini mimpi tapi di sisi lain aku juga merasa ini nyata."
"Bagaimana kamu tahu ini nyata?"
"Tanganmu," Aisha berbisik, "setiap kali tanganmu menggenggam tanganku erat seperti ini. Aku selalu berharap itu nyata."
Vero menggenggam tangan Aisha lebih erat kemudian bergumam setuju, "Mm, ini bukan mimpi." Ia menyahut.
Aisha tersenyum puas, "Jangan lepaskan tanganmu. Aku merasa kesakitan sekarang, tapi aku tidak punya tenaga untuk melawan," lirihnya.
"Apa perlu aku panggilkan dokter?" Vero bertanya lembut. Ia sebenarnya sangat khawatir, tapi ia juga tidak tega melepaskan tangannya.
"Tidak perlu, aku sudah merasa mengantuk."
"Tidurlah" bisik Vero seraya mengusap lembut wajah Aisha.
Aisha perlahan memejamkan matanya kembali. Tepat pada saat itu, seorang suster masuk ke ruangan Aisha untuk memeriksa kondisinya lalu menyuntikkan sesuatu yang Vero tidak tahu apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For One Year [END]
RomanceAlvero Keshav tahu dia tidak mencintai Aisha, gadis yang dijodohkan ibunya padanya. Ia hanya menikahi gadis itu karena ayahnya menjajikan posisi CEO jika ia menikahinya. Namun, Alvero Keshav tak pernah tahu bahwa dalam satu tahun pernikahannya, ia a...