#31 : "Mimpi yang Telah Hancur"

6.6K 561 17
                                    

"Kankernya telah menyebar ke paru-paru," kata sang dokter pelan.

Baik Vero maupun Aisha mengernyit mendengarnya. Namun, Vero lah yang lebih dulu berbicara, "Menyebar? Bukankah kemoterapi telah menyingkirkan kankernya?" tanyanya heran.

"Seperti yang saya katakan dulu, sarkoma adalah jenis kanker ganas. Kemoterapi hanya akan menghentikan pertumbuhannya dan ya, kemoterapi bisa saja menghilangkan seluruh sel kankernya. Tapi tak ada jaminan semua perawatan itu bisa menghilangkan semua kankernya, masih ada kemungkinan kankernya akan menyebar tanpa sepengetahuan kita." Dokter itu menjawab tenang.

"Tapi kenapa? Bukankah istri saya sudah menyelesaikan kemoterapi dan nyaris benar-benar sembuh?" seru Vero, sebisa mungkin ia menahan amarahnya di ruangan ini.

"Begini...." Dokter itu bersiap menjelaskan, "Sarkoma adalah sel kanker yang berkembang di jaringan ikat atau tulang. Ketika dia memecah, dia bisa masuk ke dalam pembuluh darah dan menemukan tempat tinggal baru untuk hidup. Kami tidak bisa mendeteksinya jika sel itu masuk ke pembuluh darah, satu-satunya yang bisa mencegah penyebarannya hanyalah kemoterapi dan radioterapi, tapi tidak ada jaminan sel kanker itu bisa mati. Pada beberapa kesempatan, kankernya bisa lebih kuat dari obat kemoterapi dan begitulah ia mencuri kesempatan untuk mengembangkan diri di tempat baru."

Aisha tertegun mendengarnya, sedang Vero tampak gemetar karena amarah. Sebelah tangannya yang tidak menggenggam tangan Aisha, terkepal kuat.

"Jadi apa yang bisa kami lakukan lagi?" tanya Vero kemudian.

"Merencanakan sesi kemoterapi satu kali lagi, dan yah sisanya baru bisa direncanakan jika kemoterapi itu berjalan lancar."

"Apa itu bisa menyembuhkan saya seratus persen?" tanya Aisha dingin.

"Sayangnya, masih tidak ada jaminan." Dokter Chandra menjawab lemah.

"Kalau begitu tidak, terima kasih!" Aisha berseru lalu memundurkan kursinya dengan kasar, dan berjalan keluar.

Samar-samar, Aisha bisa mendengar Vero memanggilnya dari belakang, tapi ia tidak peduli. Ia terus melangkah pergi dari ruangan itu maupun dari Vero. Sayangnya, kakinya tak cukup cepat hingga bisa menjauh dari kejaran Vero. Pria itu dengan mudah menyusulnya dan memblokir langkahnya.

"Kamu kemana?" tuntutnya.

"Aku mau pulang," sahut Aisha tak peduli.

"Kita belum selesai bicara sama dokter." Vero bicara dengan nada lembut.

"Gak perlu, toh bentar lagi aku bakal mati."

"Aisha!"

Tapi Aisha tak menggubrisnya, ia mendorong tubuh Vero dengan seluruh kekuatannya lalu berjalan maju. "Aku mau pulang, kalau kamu gak mau ngantar, aku bisa pesan taksi!" seru Aisha tanpa berbalik.

"Baiklah kita pulang." Vero berkata dari belakangnya dan dalam sekejap pria itu kembali berada di sampingnya, lalu menggenggam tangannya erat.

*

Aisha tak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya sekarang. Ia marah, kecewa, terluka, tidak terima, kesal, dan juga sedih. Seluruh perasaan itu bercampur aduk dalam hatinya dan membuatnya benar-benar frustasi.

Tapi siapa memangnya yang tidak marah di posisinya? Ia telah merelakan segala hal hanya untuk kesembuhannya. Ia telah menjalani kemoterapi yang menyakitkan, operasi yang efeknya membuatnya meringkuk kesakitan, terapi panjang yang luar biasa melelahkan, dan terus-terusan kembali ke rumah sakit tanpa memiliki waktu lain, dan sekarang? Kankernya hanya bertambah parah. Jika tahu semua perawatan itu tak ada hasilnya, untuk apa ia repot-repot menahan semua rasa sakit itu? Harusnya ia biarkan saja kanker ini berkembang sebebasnya di tubuhnya. Jika pada akhirnya ia harus mati karena kanker ini, kenapa ia harus bersusah payah berjuang?

Just For One Year [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang