#39 : "Segala Yang Ia Tinggalkan"

10.4K 699 46
                                    

Setelah Aisha pergi, selama berhari-hari aku mengalami fase 'tidak ingin hidup' di kamarku. Aku bangun, tidur, makan lalu mengulangnya lagi setiap hari. Aku merasa lelah karena terus dihantui oleh perasaan sedih juga kerinduan yang mendalam karena ingin melihat Aisha, dan hanya dengan tidur aku bisa melupakan segalanya.

Aku juga mengabaikan pergantian siang dan malam, menutup tirai jendelaku dan akan marah jika ada siapapun yang membukanya. Aku mengabaikan olahraga hingga otot-otot yang dulu terbentuk karena rutin gym, mulai menghilang digantikan lemak dan berat badanku sendiri. Kepalaku juga seringkali sakit karena terlalu banyak tidur, belum lagi tubuhku yang terasa ingin rontok karena terus-terusan di atas ranjang. Meski begitu, aku masih belum mau bangkit dari keterpurukan ini.

Baru seminggu kemudian, akhirnya aku merasa lelah dengan hidup seperti ini. Aku telah memprotes dunia dengan bersikap seakan aku tidak hidup, aku merasa benar-benar marah pada dunia yang telah mengambil Aisha dariku. Tapi pada akhirnya, aku menemukan bahwa aku sendiri lah yang hancur. Dunia sama sekali tidak mempedulikanku, bahkan ia mengejekku dengan cara terus berputar meski duniaku telah hancur. Akhirnya aku mulai menerima kenyataan bahwa tidak peduli bagaimana aku marah ataupun menyakiti diriku sendiri, fakta bahwa Aisha telah meninggalkanku tidak akan pernah berubah.

Jadi akhirnya aku bangkit lagi untuk menjalani kekalahanku. Aku mulai bercukur, meminta orang untuk mengambilkan sejumlah setelan kerja di rumahku dan menelpon sekretaris untuk menyiapkan ruangan CEO yang belum pernah aku tempati semenjak penunjukkan jabatanku.

Pada senin pagi, aku membersihkan diri pagi sekali lalu mengenakan setelan kerjaku di depan kaca. Aku memakai semuanya dengan lancar hingga ketika dasi melingkar di leherku, mendadak saja aku terdiam. Di masa lalu, selalu Aisha yang memakaikan dasi ini. Setelah bersamanya, nyaris setiap hari ia memakaikan dasi untukku tak peduli bagaimanapun kondisinya. Sekarang, aku tak sanggup melakukannya sendiri. Hatiku menjerit ingin Aisha yang memakaikan dasi itu sekali lagi agar aku bisa memeluknya atau menanamkan ciuman di keningnya lagi seperti dulu. Tapi ia tak ada lagi. Maka aku melepaskan dasi itu dan membiarkannya tergeletak di lantai. Kurasa, seumur hidupku aku tak akan pernah lagi memakai dasi, karena aku tak sanggup melawan kenangan menyakitkan itu.

Setelah berpakaian, aku turun ke dapur untuk membuat sarapan dan nyaris membuat semua ART di rumah ibuku mati ketakutan. Kurasa, penampilanku memang agak mengerikan meski aku sebisa mungkin merapikan 'kekacauanku' sebelum keluar kamar. Namun, tentu saja satu hari tak akan mampu mengubah kulit pucat dan kantung mata hitam yang tampak begitu dalam ini. Wajar jika mereka kaget melihatku.

Mengabaikan mereka, aku mulai membuat sarapanku sendiri, kemudian mengejutkan Rio dengan membantunya bersiap dan mengantarnya ke sekolah. Setelah itu barulah aku menghadapi kesibukan di kantor setelah sekian lama. Aku menenggelamkan diriku dalam tumpukan dokumen hingga nyaris tengah malam karena begitu banyak berkas yang harus ditinjau kembali semenjak ke-absenanku. Dan perlahan-lahan, hal itu menjadi rutinitasku setiap hari. Aku berangkat pagi dan pulang tengah malam. Persis seperti dulu, ketika Aisha tak pernah memasuki kehidupanku.


Namun secara perlahan pula, pekerjaan itu mulai mengubah satu kegilaanku ke kegilaan lainnya. Dulu, aku mengurung diriku sendirian di kamar dan tak mempedulikan semua orang untuk melupakan kesedihanku. Sekarang, aku menenggelamkan diriku dalam pekerjaan, terus bekerja hingga larut malam dan kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sangat lelah hingga hanya bisa tertidur tanpa memikirkan hal lain. Kurasa, hanya seperti itulah aku bisa bertahan hidup. Melupakan Aisha dan menyiksa diriku sendiri dengan kesibukan yang tanpa henti.

Just For One Year [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang