Rio memandangi foto keluarga yang sangat besar di ruang tengah rumah ayahnya. Foto itu menampilkan fotonya saat kecil bersama ayah dan ibu tirinya. Mereka bertiga berpakaian putih dan tertawa lepas di depan kamera. Rio menghela napas seraya menyusurkan tangan ke kaca dingin yang dulu selalu dibersihkan ayahnya sendiri agar tidak terkena debu itu. Sekarang hanya dia satu-satunya orang yang masih hidup. Ayahnya baru saja menyusul ibunya.
Dua hari yang lalu, ia mendengar kabar di berita bahwa kapal pesiar yang ditumpangi ayahnya tenggelam di tengah laut karena mengalami kebocoran yang parah. Ia dengan panik segera menghubungi nomor ayahnya yang tentu saja tidak diangkat. Setelah itu ia menelpon pihak kapal pesiar dan hanya tersambung dengan customer service yang memintanya tenang dan menunggu kelanjutan informasi. Setelah malam tanpa tidur dan kegelisahan yang begitu menyiksa, keesokan paginya Rio mendengar kabar bahwa ayahnya termasuk ke dalam daftar orang yang tidak selamat. Dari 4.200 penumpang, hanya sepuluh orang yang tidak selamat dan Alvero Keshav adalah satu-satunya penumpang yang meninggal diluar kapal, sisanya adalah orang-orang yang tidak sempat menyelamatkan diri.
Sejujurnya, itu adalah hal yang paling Ruo takutkan semenjak mendengar berita kapal pesiar yang ditumpangi ayahnya itu tenggelam. Meski diberitakan bahwa hampir semua penumpang selamat, Rio masih tetap gelisah menunggu berita ayahnya. Ia takut, ayahnya akan lebih memilih pergi menyusul ibunya. Dan benar saja, ayahnya tidak kembali meski kesempatan selamat sangatlah besar.
Dengan pikiran dan perasaan yang kalut, Rio pergi ke tempat evakuasi. Setelah mengurus sejumlah berkas yang memusingkan, ia akhirnya berhasil membawa jasad ayahnya kembali ke Jakarta dan memakamkannya di samping makam ibu tirinya, Aisha. Itu memang adalah makam yang telah dipesan ayahnya dua puluh tahun lalu.
Bahkan dalam kematian, ayahnya itu tetap memilih berada di samping ibunya.
Rio merasakan setetes air mata jatuh lagi ke pipinya. Ia memang sudah merelakan ayahnya, ia tahu betul bahwa tak ada yang lebih dirindukan ayahnya selain ibu tirinya itu. Namun tetap saja, ia sangat dekat dengan ayahnya dua puluh tahun terakhir, kepergian Vero tentu saja sangat menghancurkan hati Rio.
"Sayang...." Rio menoleh dan menemukan Kayla tengah berjalan ke arahnya. Seperti dirinya, wanita itu juga masih mengenakan pakaian hitam dengan wajah yang sangat sembab. "Ada seseorang yang mau ketemu kamu," lanjutnya.
"Siapa lagi?" tanya Rio
"Kapten kapal yang ditumpangi Papa."
Rio menghela napas. Sejak pagi tadi, pemakaman dan rumah ayahnya tak pernah sepi pengunjung. Selalu ada saja orang yang bertamu ke rumahnya untuk mengucapkan belasungkawa. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mengaku diselamatkan ayahnya malam itu. Mereka datang untuk mengucapkan terima kasih dan bertanya apakah ada yang bisa mereka bantu untuk membalaskan budi ayahnya yang telah menyelamatkan mereka malam itu.
Rio tak benar-benar tahu bagaimana cara menanggapinya. Di satu sisi ia marah karena ayahnya bisa saja menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum orang lain. Lagipula itu adalah bencana, tak akan ada yang menyalahkannya jika dia ingin egois dan lebih memilih menyelamatkan dirinya sendiri daripada menyelamatkan orang yang tak pernah ia kenal. Namun, di sisi lain Rio juga mengerti bahwa ayahnya tentu saja tak akan menjadi yang pertama dalam menyelamatkan diri. Jika ada kesempatan untuk bertemu istrinya tak peduli sekecil apapun itu, ayahnya sudah pasti akan mengambil kesempatan itu tak peduli apapun risikonya. Jadi, Rio hanya bisa meminta mereka mendoakan ayahnya dan menolak segala bentuk uang ataupun kemewahan lainnya yang ditawarkan untuk membalas jasa ayahnya.
"Kalau kamu gak mau nemuin, aku bisa suruh dia pergi." Suara Kayla membawanya kembali ke kenyataan.
"Gak apa-apa, aku bakal nemuin dia," sahut Rio.
Sambil menggamit tangan Kayla, Rio melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu. Di sana tampak seorang pria berusia setidaknya empat puluhan bersama istri dan dua orang anaknya tengah duduk di kursi tamu. Rio menarik napas sesaat sebelum akhirnya menghembuskannya dengan berat selagi ia mendekat ke ruang tamu.
"Apa Anda mencari saya?" tanya Rio begitu ia sampai di ruang tamu.
"Anda putra Pak Alvero Keshav?" tanyanya dengan nada gugup.
Rio hanya mengangguk sebelum akhirnya duduk di hadapan mereka bersama Kayla yang tengah menggenggam tangannya erat.
"Perkenalkan nama saya Joseph Wang, kedatangan saya kemari untuk mengucapkan belasungkawa kepada Pak Alvero Keshav dan keluarganya, juga untuk berterima kasih, karena beliau lah saya bisa di sini sekarang bersama keluarga saya." Ia melanjutkan.
"Anda bukan orang pertama yang mengatakan itu," Rio membalas lemah. "Dan mohon maafkan kelancangan saya, tapi jika anda akan memberikan 'hadiah' atau 'balas budi' maka saya akan menolaknya lebih dulu. Saya hanya meminta anda mendoakan ayah saya."
Pria itu tersenyum. "Ayah anda juga mengatakan itu di saat terakhirnya. Beliau bilang, dia sudah sangat merindukan istrinya dan karena itulah ia hanya meminta didoakan agar bisa bertemu istrinya di atas sana."
Rio tercengang.
Dan seluruh kisah pada malam karamnya kapal itu perlahan mulai luruh. Kapten itu menceritakan segala hal tentang apa yang terjadi pada Vero dan dirinya. Bagaimana seluruh kru kapal berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan penumpang terlebih dahulu, kedatangan kapal nelayan dan bagaimana Vero menyuruhnya pergi dan lebih memilih tinggal. Rio tak tahu bagaimana menanggapinya, namun setelah lama berpikir, ia akhirnya mengerti bahwa tentu saja ayahnya akan menyelamatkan orang lain lebih dulu selama dia bisa. Itu bukan kebesaran hatinya, itu hanya keinginan terbesarnya yang ingin bersama istrinya secepatnya. Bagaimana mungkin ayahnya itu akan bisa memilih kehidupan sementara kematian adalah tempatnya bisa bersama cintanya?
"Saya bersumpah saya tidak melebih-lebihkan perkataan saya. Itu adalah sesuatu yang terjadi pada malam tersebut, sesuatu yang saya alami secara langsung. Alasan saya bisa hidup adalah permintaan dari ayah Anda." Kapten itu berbicara dengan nada yang penuh kesungguhan, seakan takut Rio menganggapnya pembohong.
Rio tersenyum, "Saya tahu, saya sangat mengenal ayah saya hingga sadar bahwa ini adalah sesuatu yang pasti akan ia lakukan. Menjemput kematian sesegera mungkin, agar bisa kembali bertemu istrinya."
Rio menghela napas kemudian menatap pria di seberangnya, "Ibu saya meninggal dua puluh tahun lalu, dan selama itu tak seharipun ayah saya bisa melupakan kerinduannya dari ibu saya. Beliau selalu mengunjungi makam ibu saya setiap hari, tanpa pernah absen. Seakan makam itu adalah rumahnya, alih-alih tempat ini. Dulu saya menganggap itu kegilaan, tapi sekarang saya mengerti bagaimana perasaan ayah saya. Ini belum 24 jam setelah ayah saya dikuburkan dan saya sudah setengah mati merindukannya. Bagaimana dengan ayah saya yang merindukan istrinya seperti ini selama dua puluh tahun? Dia pasti sangat menderita selama bertahun-tahun ini. Saya telah merelakannya dan menurut saya, ayah saya pantas bahagia dengan cintanya di atas sana."
Rio mengalihkan tatapannya ke arah foto besar yang terpajang di ruang tamu itu. Foto pernikahan ayahnya dan ibu tirinya. Foto Vero dan Aisha. Ia tahu, ayahnya sudah sangat bahagia ketika terlepas dari kerinduannya sekarang. Dan meski ia akan sangat sedih kehilangan ayahnya, setidaknya ia tahu bahwa ayahnya pasti sedang berbahagia karena telah terlepas dari kesedihan yang telah membelenggunya selama dua puluh tahun terakhir.
Satu tahunnya bersama Aisha akan terbalas menjadi seumur hidup di atas sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For One Year [END]
RomansaAlvero Keshav tahu dia tidak mencintai Aisha, gadis yang dijodohkan ibunya padanya. Ia hanya menikahi gadis itu karena ayahnya menjajikan posisi CEO jika ia menikahinya. Namun, Alvero Keshav tak pernah tahu bahwa dalam satu tahun pernikahannya, ia a...