#10 : "Aisha, Rumahnya"

6.7K 742 6
                                    

"Permisi?"

Aisha tersentak ketika suara seseorang membuyarkan lamunannya. Ia segera berbalik dan mendapati seorang wanita tersenyum lembut sambil menatapnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aisha dengan nada sopan yang sama.

"Maaf jika saya menyinggung anda, tapi apakah anda ibunya Rio?"

Aisha tersenyum lalu mengangguk. Hanya itu. Ia tak mau repot-repot menjelaskan bahwa ia hanyalah ibu sambung Rio, dan Aisha sendiri yakin wanita itu juga tak akan bertanya lebih lanjut masalah privasi keluarganya. Jadi anggukan itu saja akan cukup untuk menjawab segalanya.

"Perkenalkan saya Elen, gurunya Rio. Bisa anda ikut saya sebentar? Ada hal yang harus saya bicarakan dengan anda." Dia bertanya dengan nada sopan lalu dengan cepat menambahkan, "Masalah Rio."

Aisha seketika merasa gugup. Meski ia bukan ibu kandung Rio, tapi jika ada sesuatu yang menimpa anak itu, Aisha pasti akan menjadi orang pertama yang akan merasa sakit hati. Dan terlebih, ia tidak tahu apa yang terjadi pada Rio selama lima tahun terakhir, jadi ia tak bisa memastikan bagaimana anak itu selama di sekolah sebelum ia datang dalam hidupnya.

Menuntaskan rasa gugup, gelisah juga penasarannya, Aisha akhirnya mengangguk dan mengikuti guru itu berjalan menuju ruang guru.

Aisha masuk ke dalam TK tersebut lalu melintasi lorong yang bersebrangan dengan lorong kelas dengan sebuah jembatan yang menjadi penghubung dua ruangan itu. Ia terus mengikuti guru tersebut hingga ke sebuah ruangan yang bertuliskan 'RUANG GURU' di depan pintu kacanya.

Guru tersebut menggeser pintu kaca lalu berjalan ke arah kursi panjang yang berada di balik pintu. Dengan sopan, guru itu mempersilakan Aisha duduk di depannya. Aisha segera duduk di tempat yang ditunjuk.

"Jadi gini Bu, saya mau membahas soal perkembangan Rio di sini. Sebelumnya saya sudah membahasnya juga sama pengasuhnya Rio, tapi saya belum melihat ada perubahan yang berarti sama perilakunya Rio." Guru tersebut memulai dengan nada ramahnya.

"Ada apa emangnya sama Rio, bu?" tanya Aisha gugup.

"Selama ini saya melihat Rio itu kesulitan bersosialisasi, bu. Dia sering sendirian di kelas waktu semua orang lagi main. Dia juga gak terlalu aktif waktu tugas kelompok. Saya lihat dia selalu menyendiri entah itu di jam pelajaran, istirahat, sebelum pelajaran mulai, atau bahkan pada jam pulang sekalipun.

Saya awalnya sudah berusaha. Saya coba bikin grup kelompok biar dia bisa bekerjasama dengan timnya, tapi malah Rio yang mengerjakan tugasnya sendiri sementara timnya main. Saya tanya kelompoknya, mereka bilang itu permintaan Rio yang mau ngerjakan tugasnya sendiri supaya cepat selesai. Saya juga sering ngajak dia ngomong, tapi dia malah lebih suka main sendirian. Bukannya saya menyerah membimbing Rio Bu, tapi saya merasa keterlibatan orang tua juga penting untuk kemampuan sosialnya Rio.

Selain itu, saya juga melihat Rio itu murid yang cerdas, Bu. Setiap saya tunjuk dia ngerjain soal di depan kelas dia selalu bisa jawab dan bahkan ketika kami bermain permainan mengingat nama benda menggunakan kartu, dia bisa mengingat semua benda itu padahal anak lain hanya bisa mengingat paling banyak tujuh kartu, dan Rio bisa mengingat dua puluh kartu sekaligus. Tapi karena pendiam, dia jarang mau jawab pertanyaan saya kalau saya tanyain semua orang di depan kelas.

Saya yakin Rio bisa menjadi anak yang pintar, tapi tentu saja dia juga perlu sosialisasi, 'kan? Akan sangat disayangkan kalau dia tidak bisa menyeimbangkan kepintaran dengan kemampuan bersosialisasinya, dan menurut saya orangtua lah yang berperan paling penting untuk mendorong Rio bersosialisasi, karena Rio menghabiskan waktunya lebih banyak sama keluarganya daripada di sekolah."

Aisha mengangguk mengerti, "Baik Bu, nanti saya coba buat ngajarin Rio bersosialisasi. Sebelumnya terima kasih karena udah ngasih tau ini ke saya ya bu." Aisha berkata dengan nada sopan yang sama.

Just For One Year [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang