Dua minggu ini terasa begitu berat bagi Vero. Aisha terus-terusan menolak menemuinya sedang dirinya tak berani mengambil risiko menemui Aisha dan membuat kondisi gadis itu memburuk seperti waktu itu. Kiara berkata bahwa kamar Aisha terus-terusan menerima tamu, semuanya dari teman menari dan teman sekolahnya dulu. Itu artinya Aisha mengizinkan semua orang menemuinya. Semua orang, kecuali dirinya.
Dan Vero masih tidak mengerti apa salahnya.
Karena kondisi ini juga, Vero akhirnya terpaksa kembali ke kegiatannya dulu. Ia kembali ke rumah sebelum matahari terbit, bersiap, sarapan, bekerja kembali di kantor lalu kembali ke rumah untuk mandi, ganti baju, beristirahat sebentar sebelum akhirnya kembali ke rumah sakit untuk menemani Aisha, ketika gadis itu sudah tidur. Apalagi memangnya yang bisa ia lakukan? Gadis itu sangat keras kepala, tidak peduli bagaimana ia memohon untuk bisa berbicara bahkan sebentar saja, dia selalu saja menolak. Vero sendiri juga tidak mungkin menghabiskan waktu sepanjang hari di luar kamar Aisha dengan orang-orang menatapnya seakan ia penguntit. Karena itu, ia mau tak mau harus kembali menjalankan aktivitasnya.
Hari ini pun, Vero kembali ke rumah dengan perasaan kosong yang sama seperti dua minggu terakhir. Rumah yang sepi selalu menyambutnya semenjak Aisha tidak ada di sini, dan ia membenci itu. Suasana ini mengingatkannya kepada rumah yang ia tinggali sebelum Aisha datang ke hidupnya. Sepi dan tidak memberikan kebahagiaan sedikitpun tidak peduli meski ia sudah mengisinya dengan semua barang yang ia sukai.
Hanya setelah Aisha datang ke hidupnya, ia mulai menyukai sensasi kembali ke rumah. Ia senang ketika pekerjaannya selesai, ia senang ketika mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan dengan bahagia ke parkiran lalu menjalankan mobilnya secepat mungkin agar bisa cepat sampai ke rumah. Hingga akhirnya ia bisa tiba di depan pintu dengan Aisha yang menyambutnya sambil tersenyum cerah. Ia benar-benar bahagia pada semua saat itu.
Mungkin, Aisha lah 'rumah'-nya sebenarnya. Karena bahkan ketika gadis itu di rumah sakit dan hanya bisa menyambutnya dengan senyum cerah sedang tubuhnya terbaring sepenuhnya di atas ranjang, ia masih merasakan sensasi menyenangkan itu.
Sekarang semua itu sudah tidak ada lagi. Entah itu dibalik pintu rumah ini atau di kamar rumah sakit, senyum Aisha tak pernah muncul untuk membasuh kelelahannya. Itu membuat Vero merasa ia tidak berbeda dari seorang tunawisma yang telah kehilangan rumah. Ia seakan tidak memiliki tujuan untuk kembali.
Vero melangkah masuk ke kamarnya setelah memakan makan malam yang disiapkan Bi Marni. Ia mandi, ganti baju lalu berbaring sebentar di atas ranjang. Saat ini jam masih menunjukkan pukul setengah delapan, Aisha masih belum tidur dan Vero sendiri tak mungkin ke rumah sakit pada jam ini.
Selagi Vero memainkan ponselnya di atas ranjang, mendadak ia teringat pada file yang telah lama ia selesaikan dan harus dikirimkan ke ayahnya besok. Vero bergegas melepaskan ponselnya dan mulai membuka lemari di nakasnya, tempat ia menyimpan sejumlah file penting.
Vero memilah-milah file itu hingga akhirnya menemukan yang ia cari. Ia menarik file itu dan sudah berniat akan menutup laci ketika perhatiannya teralih pada sebuah map cokelat yang diletakkan di bagian paling bawah tumpukan. Sudutnya yang menonjol membuat Vero memperhatikannya.
Dengan hati-hati, Vero berusaha menarik map cokelat itu dari tumpukan. Alisnya segera mengernyit ketika melihat nama map itu, 'DIGNITAS
To live with dignity - To die with dignity
the Swiss self-determination, autonomy and dignity group.'Klinik Dignitas.
Vero tidak asing dengan nama itu, ia pernah membaca sejumlah berita dan artikel tentang klinik dignitas. Ia tahu klinik itu adalah tempat pengajuan bunuh diri yang legal. Sebuah fasilitas mewah untuk semua orang yang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara yang damai. Orang-orang dengan penyakit lumpuh, kanker yang tak bisa disembuhkan, sakit kronis menahun dan memiliki kesehatan mental yang parah biasanya akan pergi ke sana untuk mendapatkan kematian tanpa rasa sakit. Kematian yang tak akan ditemukan di tempat lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just For One Year [END]
RomanceAlvero Keshav tahu dia tidak mencintai Aisha, gadis yang dijodohkan ibunya padanya. Ia hanya menikahi gadis itu karena ayahnya menjajikan posisi CEO jika ia menikahinya. Namun, Alvero Keshav tak pernah tahu bahwa dalam satu tahun pernikahannya, ia a...