"Ara baik-baik ajakan Mam??" Distra baru saja tiba dirumah setelah 1 jam keberengkatan Ara dari kediamannya.Ponsel Distra yang saat itu dimatikan karena dia tak ingin di ganggu oleh siapapun setelah masalah yang ia selesaikan bersama Syira yang berakhir tidak baik-baik saja. Setelah Distra mulai merasa lebih tenang, cowok itu meng-aktifkan benda pipih tersebut dan nampaklah notifikasi nama Ara paling atas sebagai panggilan tak terjawab sebanyak 18 kali, di susul Disya yang juga menghubungi Distra sebanyak 7 kali dan yang terakhir adalah Baskara sebanyak 3 kali.
Dalam keadaan di serang rasa panik, Ia melajukan vespanya dan tiba di rumah dalam keadaan basah karena saat menuju ke rumah, Distra malah terkena hujan dan tidak membawa jas hujan atau berlindung sebentar.
Semuanya tidak ada yang merespon Distra, yang lainnya bingung ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Jawab aku, Ara dimana sekarang?"
Mamam-nya Distra beranjak dari sofa lalu memeluk anak laki-laki satu-satunya. "Sudah, tenangkan dirimu dulu baru Mamam jelaskan." Ujarnya seraya melepaskan pelukan tersebut.
Distra tidak menjawab, melainkan bergegas ke lantai dua. "Kosong?" Seketika jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Kakinya seperti mati rasa sampai tak bisa untuk berdiri seusai melihat kamar Ara yang hanya berisikan lemari dan tempat tidur.
Ara pergi ninggalin aku? Dia marah sama aku? Batinnya yang sesak tak sanggup menahan tangisannya. Ia menangis dalam diam disaksikan oleh Disya yang tidak tega melihat adiknya seperti putus asa.
"Aku minta maaf udah jauhin kamu, Ra. Aku minta maaf."
"Dis—
"Mbak Disya, Aku jahat ya sama Ara?"
Disya tidak sanggup berkutit, ia merasa kasihan dengan Distra saat ini. Untuk kali pertama Ia melihat adiknya menangis karena kehilangan seseorang yang berarti di hidupnya.
"Ada yang Ara titip ke aku untuk kamu." Mbak Disya memberikan amplop berisikan surat yang Ara tulis untuk Distra.
Cowok itu lalu mengambil surat dan tanpa berpikir panjang ia membuka amplop tersebut dan membaca kalimat yang hanya 2 paragraf. Disisi lain Mbak Disya pergi dari kamar itu dan meninggalkan Distra sendiri dengan tangan yang masih dalam keadaan bergetar nyaris tak kuasa memegang benda tipis.
Untuk Distra dari Ara.
Hai Dis, aku minta maaf nggak bisa pamit sama kamu padahal seharusnya aku pamit sejak kemarin tapi aku nggak bisa beritahu karena aku takut aku yang nggak bisa pergi dari kamu. Aku minta maaf kalau selama ini aku ganggu hubungan kamu dengan Ira. Aku minta maaf selama ini aku cuman repotin kamu, cuman jadi beban kamu selama ini. Aku juga minta maaf kalau sejak dari tiga bulan yang lalu aku nggak ngomong sama kamu yang sebenarnya kalau aku dan Yayah-ku sudah bertemu.
Aku ke Jogja dan kuliah disana, maaf banget karena aku nggak tepatin janji untuk terus bareng sama kamu sampai kuliah. Aku nggak bisa terus bergantung sama kamu apalagi karena permintaan Ira yang meminta kamu untuk jauhin aku adalah salah satu alasan aku untuk nggak bersama kamu sampai kuliah karena aku juga nggak sanggup harus jadi sahabat yang malah nggak bisa jadi sahabat yang sebenarnya. Oh iya, aku tahu ini dari Baskara jadi nggak usah marahin dia.
Dan yang bikin aku semakin yakin buat pergi adalah saat perasaan aku ke kamu itu beda, berbeda dari tahun-tahun yang lalu. Aku suka sama kamu sejak aku sadar semenjak ada Ira aku selalu ngerasa ada yang sakit, Dis. Maaf ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARA [COMPLETED]
Teen FictionYANG NGGAK SUKA KEBUCINAN HARAP UNTUK TIDAK BACA! Distra menjadikan Ara pusat dunianya, dan Ara menjadikan Distra belahan jiwanya. Distra yang tak ingin melepaskan Ara, dan Ara yang tak ingin bergantung pada Distra. ini tentang Asmara Distra. -//- ...