"Beri oplos untu Distra." Seru Pak Muis memberikan apresiasinya kepada Distra yang baru saja menunjukan hasil Power Point yang ia kerjakan sejak subuh tadi tanpa lelah.Semalam ia tak sempat mengerjakan tugas Power Point karena kepalanya sedang di penuhi oleh Syira, wajahnya Syira, semua perkataan Syira, dan segala-galanya tentang adik kelasnya yang membuat dirinya tidak mengerjakan power point malam hari dan harus ia kerjakan pada pukul 4 dini hari hingga ia harus melanjutnya mengerjakan di sekolah. Untung hasilnya tidak mengecewakan bahkan presentasi Distra paling bagus dari yang lain.
Ara melihat Distra sangat aneh sejak tadi, bahkan Distra tidak banyak bicara hari ini, ia lebih sering tidur-tiduran walau pikirannya sedang kemana-mana, dan Ara sangat merasa bersalah. Mungkin Distra marah karena aku memaksanya untuk membeli cemilan semalam. Pikir Ara seperti itu jadi ia pun tidak berani mengajak Distra ngomong duluan. Distra memang orangnya suka ngambek tapi kadang Ara cuman menjadikan candaan bahkan meledek Distra, namun, kali ini ia merasa tak mengenal Distra, ia tidak hidup.
Setelah semuanya telah selesai mem-presentasi 'kan hasil kerja individu mereka, semuanya di persilahkan untuk keluar karena sekarang sudah menunjukan jam 9 lewat 15 menit. Seperti biasa, jam-jam seperti ini Bobon akan menghampiri Distra dan Ara untuk mengajaknya ke kantin bersama sekaligus mabar dikantin sambil ngemil.
"Woii, nggak ke kantin lo berdua?" Tanya Bobon yang melihat Ara dan Distra tidak bergegas ke kantin, cuman duduk kayak patung.
Distra menggeleng. "Duluan aja sama Ara. Aku lagi nggak enak badan, mungkin kurang tidur karena kerja power point." Balas Distra membuat Ara kebingungan.
"Aku disini aja, tadi udah makan dirumah." Kata Ara menolak ajakan Bobon sehingga muka cowok gendut itu langsung masam, Bobon langsung pergi saja kemudian menghilang di balik pintu kelas berwarna putih yang penuh dengan coretan-coretan abstrak, mulai dari cakaran matematika, omongan kotor bahkan organ manusia juga nampak disana.
Ara cuman memainkan ponselnya lalu memutar lagu seperti biasa dan memasang AirPods pada telinganya, ia melakukan ini agar Ia tidak kepikiran dengan Distra yang katanya tidak enak badan. Jarang sekali Distra menggunakan alasan tidak enak badan, karena dulu saat semester 1 kelas 3, Distra bahkan demam tapi masih sanggup untuk mabar di kantin seperti biasanya.
Karena Ara lelah dengan suasana seperti ini yang tidak mendengar Distra ngomong sedikit 'pun bahkan hari ini sepertinya Distra baru ngomong satu kali dengan Ara. Iya! Hanya tadi pagi saja saat Distra menyuruh Ara untuk memegang pinggang kuat-kuat biar tidak di jatuh dari vespa bututnya Distra. Seingat Ara cuman itu saja, selain itu tidak ada.
Dan selebihnya Ara cuman mendengar sesekali Distra mendengus atau mengetuk-ketuk meja dengan pulpen hasil curiannya.
Ara melepas AirPods-nya. "Dis. Kamu kenapa sih? Dari tadi cuman diam aja kayak orang nggak pernah di kasih makan?" Tanya Ara dengan tangan yang meninju bagian lengan Distra, cowok itu cuman meringis kesakitan saat Ara meninju lengannya.
"Kamu marah karena aku sama Mbak Disya maksa kamu buat beli cemilan? Yaudah, aku minta maaf." Ucap Ara dengan emosi yang tak tertahan lagi.
"Kapan aku bisa marah sama kamu?"
Ara mengerutkan keningnya, jadi kalau bukan marah, apa dong?
Distra seolah mendengar pertanyaan Ara. "Semalam aku antar Syira pulang karena nggak sengaja liat dia masih ada di Tempat bimbel padahal udah mau jam sembilan. Karena kasihan aku nawarin dia untuk kuantar pulang dan kami ngobrol-ngobrol selama di perjalanan. Singkat kata, dia nanya ke aku, bukan nanya tapi Syira kayak minta izin sama aku, katanya—,"
KAMU SEDANG MEMBACA
DISARA [COMPLETED]
Ficção AdolescenteYANG NGGAK SUKA KEBUCINAN HARAP UNTUK TIDAK BACA! Distra menjadikan Ara pusat dunianya, dan Ara menjadikan Distra belahan jiwanya. Distra yang tak ingin melepaskan Ara, dan Ara yang tak ingin bergantung pada Distra. ini tentang Asmara Distra. -//- ...